Gio yang baru saja sampai di rumah sakit untuk melihat perkembangan Fabio mengerutkan keningnya karena melihat Bagas yang terlihat tengah cekcok dengan Satya, Gio sering melihat pemandangan itu, entah Bagas yang terlalu keras kepala atau Satya nya yang melakukan kesalahan besar hingga Bagas tidak bisa memaafkannya.
Ia menghampiri Bagas setelah anak itu pergi meninggalkan Satya sendiri, "Gas, lo mau kemana?" Tanyanya, bisa Gio lihat jika Bagas tengah menahan marah saat ini.
"F*ck Gi, semuanya buat gue muak!"
"Oke-oke lo tenang, lo bisa ceritain semuanya ke gue, kita cari tempat untuk ngobrol." Bagas menurut dengan ajakan Gio, lantas keduanya pergi dari area rumah sakit dan berakhir di warung yang tidak jauh dari sana.
"Gi, lo tau 'kan kalo gue selama ini berusaha nyari siapa anak haram ayah itu?" Gio dengan cepat mengangguk, itu bukan suatu rahasia lagi baginya, Bagas sudah bercerita dari jauh-jauh lamanya.
"Lo juga tau gimana gue bencinya gue sama anak itu, gue balas dendam sama dia." Lagi-lagi Gio mengangguk, tidak pernah melupakan ambisi sang teman, walau ia tidak begitu mendukung apa yang diinginkan Bagas.
"Gue udah tau siapa dia Gi, gue udah ketemu sama dia."
"Hah? Serius lo?" Kata Gio tidak percaya, ia tiba-tiba begitu tertarik dengan membicaraan ini.
"Dia, yang nggak lain adalah Fabio." Bagas mengatakannya dengan raut wajah yang masih menahan marah sementara raut wajah Gio sedikit blank, berharap apa yang didengarnya salah.
"Maksud lo? Fabio siapa?"
Bagas menghela napasnya, menatap lamat-lamat Gio didepannya, "Fabio siapa lagi kalo bukan dia Gio."
"Gimana bisa?" Gumam Gio pelan, ia tidak lagi bingung mengapa Bagas terlihat sangat marah seperti ini.
"Argh sial! Gue benci sama fakta yang ada Gi! Gue benci! Kenapa harus keluarga gue!" Bagas menjadi menyesal sudah berteman dan mengenal Fabio, sebab anak itu adalah sumber dari masalah ini, ia menyesal karena sudah percaya pada Fabio, ia menyesal sudah menolongnya hari ini, seharusnya ia biarkan saja tadi Fabio kesakitan jika tahu fakta yang sebenarnya.
"Sabar Gi, jangan biarin emosi menguasai diri lo, lo yang harus bisa menguasai emosi lo sendiri."
"Ya, buat hari ini gue bakal tahan segala emosi gue, tapi besok-besok gue nggak akan tinggal diem buat nyingkirin Bio," katanya menggebu-gebunya, Gio pun sampai ngeri mendengarnya.
Bagas teringat sesuatu, wanita tua yang tadi berada di kamar rawat Fabio bersama sang Ayah, bukannya itu adalah nenek tiri Gio? Mengapa berada disana? Apa semuanya ini berhubungan satu sama lain?
"Gi, lo bilang rumah nenek lo dari ibu angkat lo deket rumah Najwa?"
"Iya emang kenapa?"
"Fabio juga bilang kalo dia sekarang tinggal sama neneknya kan sekarang? Dan nenek lo juga tinggal disana, lo nggak nyadar Gi? Gue rasa semua ini ada hubungannya Gi, ada yang janggal."
"Maksud lo gimana?"
"Tadi gue liat nenek lo itu ada di kamar rawat Bio, kalo bener dia nenek Fabio, berarti... Ibu angkat lo ibu Fabio...?" Bagas melotot sendiri menyadari apa yang dikatakannya, jika benar berarti wanita di masa lalu sang ayah adalah ibu tiri temannya sendiri.
Bagas tentu sudah pernah bertemu dengan Yuni, sebab Najwa sering menceritakan wanita yang sudah dianggap nenek oleh Najwa itu, pertemuan mereka ketika saat tidak sengaja ia akan berkencan bersama Najwa, Yuni tengah berbincang dengan orang tua Najwa. Gio juga pernah memperlihatkan foto nenek tirinya itu, jadi Bagas tidak salah bicarakan? Tebakannya benar.
"Nggak Bagas, mama memang punya anak 2 dari mantan suaminya, anak pertamanya itu ikut mantan suami, sedangkan anak keduanya sekarang sekolah di luar negeri, selain itu nggak ada lagi. Fabio bukan anak mama," elaknya, tidak mungkin karena Airin bilang begitu, anak keduanya tengah mengenyam pendidikan di negeri orang.
"Eh, tapi tadi pas kita mau pulang, gue liat nenek di parkiran, apa jangan-jangan....Gila! Apa maksudnya semua ini?" Lanjut Gio, menyadari kejanggalan yang Bagas maksud. Gio sendiri baru menyadari jika rumah nenek Fabio dekat Najwa, lalu Fabio tinggal disana, mengapa Fabio tidak berpikiran sampai disana, kenapa otak pintarnya pergi? "Gue harus minta penjelasan mama Gas, gue harus tau kebenarannya."
"Itu memang bener Gi, lo tau penyebab Bio nggak sadarkan diri sama nangis di kamar lo tadi siang? Itu karena liat foto keluarga lo." Bagas yakin jika tebakannya tidak salah, jika Satya tidak mau menceritakan dan memberi tahu siapa ibu dari Fabio, biar Bagas saja yang mencarinya sendiri.
***
Tubuh Fabio benar-benar tidak berdaya saat ini, ditengah malam ia terbangun dan merintih sakit. Ingatan Fabio kembali mengarah pada kejadian tadi siang, hatinya begitu sakit, ia terlalu naif mengatakan jika akan baik-baik saja apapun yang terjadi, nyatanya Fabio tidak kuat untuk menerima kenyataan yang ada.
Ternyata ini adalah salah satu alasan Airin tidak mau menemui ataupun sekedar mendengar suaranya, Airin sudah bahagia bersama keluarga barunya, melupakan dirinya disini sendirian.
Tubuhnya bergetar karena terisak di atas bed, mengapa begitu menyakitkan untuknya? Di ruangan putih tersebut Fabio menangis memecah keheningan malam, jika bisa Fabio ingin ketika ia sadar ada yang ibu yang akan menyambutnya dengan bahagia dalam senyuman manis mengembang, mengatakan jika 'Fabio anak yang kuat', 'ada yang sakit?', disini bunda sayang'. Atau kata-kata menyejukkan hati lainnya, namun Fabio terlalu berharap akan hal itu.
"Hey, ada apa nak? Ayah disini." Satya yang memang menemani Fabio di rumah sakit terlonjak kaget ketika ia mendengar tangis yang berasal dari Fabio, langsung saja pria itu mendekat setelah sebelumnya tidur di sofa yang berada di kamar rawat tersebut, ia genggam tangan sang anak yang terasa dingin itu.
"Dimana yang sakit? Bilang sama Ayah." Fabio membuka sayu matanya, air mata sudah meluncur bebas dari sudut mata kanan kirinya, Fabio hanya bisa memandang Satya lemah tanpa bicara.
"Nggak papa, disini kamu nggak sendiri. Ada Ayah yang temenin kamu," ujar Satya lagi, Fabio kembali menatap lurus depannya dengan mata mengerjap pelan, entah apa yang di pikirkan anak itu.
Fabio hanya diam tanpa mengeluarkan kata, tangisannya pun sudah lenyap digantikan keheningan kembali di ruangan tersebut. Anak itu diam hingga sampai mengantuk kembali dan tertidur, Satya tersenyum tipis lalu mengecup kening sang anak.
"Sehat-sehat anak ayah." Sebagai psikiater, Satya sudah menangkap jika ada sedikit masalah pada Fabio, bagaimana tangisan Fabio dan tatapan kosong sang anak tadi, Satya menebak jika Fabio sudah mengetahui sedikit dari apa yang terjadi.
TBC..
[]
Lampung, 08082022
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Akhir [END]✓
Fanfiction"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa yang akan Fabio lakukan? Tetap berjuang hingga semesta menerimanya, atau memilih untuk menyerah sepert...