30. Kebenaran yang berdatangan✧

1.7K 165 1
                                    

Nyatanya sudah 2 jam berlalu, setelah Fabio bertemu Airin tidak cukup membuat Fabio melupakan begitu saja pertemuan mereka setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Fabio juga manusia biasa yang bisa merasakan sakit, kecewa dan marah seperti orang-ora...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nyatanya sudah 2 jam berlalu, setelah Fabio bertemu Airin tidak cukup membuat Fabio melupakan begitu saja pertemuan mereka setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Fabio juga manusia biasa yang bisa merasakan sakit, kecewa dan marah seperti orang-orang lainnya.

Fabio sakit, ia ingin menangis sekencang-kencangnnya, ia kecewa dan ingin melampiaskan segalanya saat ini, ia marah dan ingin mengamuk dengan melemparkan semua barang-barang yang berada disampingnya, namun Fabio tidak bisa seperti itu, sebab semuanya akan sama saja, tidak akan merubah apapun.

Ayah dan kakaknya bahagia, begitu juga dengan sang ibu yang bahagia, mereka semua bahagia bersama keluarga barunya, melupakan dirinya yang tengah berjuang melawan semesta yang ingin dirinya menyerah.

"Kenapa aku Tuhan?" lirihnya seraya memandang pemandangan dari jendela kamar rawatnya, di luar sana tengah hujan saat ini, seolah tahu ia tengah sedih saat ini, masih ingat bukan jika Fabio membenci hujan?

"Bio?" Suara tersebut langsung mengalihkan perhatian, Fabio tersenyum tipis ke arah remaja yang berdiri tidak jauh darinya.

"Gimana keadaan lo?" Gio duduk di sebelah ranjang anak itu dan meletakkan bingkisan yang ia bawa di meja.

"Alhamdulillah, udah mendingan dibanding kemaren." Ada rasa iri ketika Fabio melihat Gio saat ini, ia dan Gio sangat beda jauh bagai langit dan bumi. Gio bisa segalanya, mulai dari akademik dan non akademik sekalipun, yang lebih membuat Fabio iri adalah Gio dengan mudah mendapatkan kasih sayang Airin.

"Syukur deh kalo gitu." Gio membalas senyum Fabio, baginya senyum Fabio itu menyakitkan, bagaimana bisa ia akan berbicara tentang sebenarnya, ia tidak tega melunturkan senyuman di wajah Fabio.

"Oh iya, Bagas mana? Dia nggak ikut?" Tanya Fabio, anak itu sedikit tidak nyaman ketika ia sudah tahu jika Gio adalah anak tiri ibunya. Tanpa mereka sadari, mereka berdua sama-sama memiliki perasaan yang sama.

"Ah, Bagas. Dia nggak ikut, ada urusan katanya, tapi dia titip salam buat lo." Gio terpaksa berbohong, bahkan tadi Bagas tidak berangkat sekolah, dihubungi tidak diangkat, Gio tidak tahu Bagas dimana.

"Gue berterimakasih banyak sama lo dan Bagas Gi, makasih banyak udah nolong gue dan bawa gue ke rumah sakit," ujarnya dengan tulus, senyum di bibir pucatnya kembali mengembang, ia tahu itu dari Yuni karena ia bertanya siapa yang membawanya ke rumah sakit.

"Itu sudah seharusnya Yo, jangan sungkan."

Fabio mengangguk kecil sembari membenarkan nasal cannula yang masih berada di hidungnya lalu menghembuskan napasnya sebelum ia berbicara, "Gi, gue udah tau semuanya. Tentang bunda yang nikah lagi sama ayah lo, yang berarti bunda itu ibu lo juga sekarang, lo juga udah tau 'kan? Bunda pasti udah cerita sama lo."

"Yo, maafin gue. Bukan maksud gue ngerebut mama dari lo, gue nggak tau kalo sebenernya lo anak mama. Gue minta maaf Yo." Sungguh, Gio merasa bersalah, ia tidak tahu apapun.

Batas Akhir [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang