Saat akan di bawa ke rumah sakit, di dalam perjalanan Fabio siuman di tengah perjalanan. Anak itu meminta pada Gama untuk memulangkan dirinya saja, daripada membawanya ke rumah sakit. Fabio memohon, Gama jadi tidak bisa menolak apa permintaan Fabio. Gama tidak tahu akan menjadi akhir seperti ini.
"Kak jangan benci aku ya, masa udah nggak ada aja masih ada yang benci. Kakak nggak kasian apa?" Katanya dengan suara yang lemah, memaksakan matanya tetap terjaga walau terasa sangat berat untuk dibuka.
"Gue nggak pernah benci lo Yo, kalo ini emang kebahagiaan lo, gue ikhlas..." Gama terisak, masih terekam jelas interaksi terakhir mereka sebelum hari berikutnya ia mendapatkan kabar mengejutkan, jika Fabio sudah benar-benar pergi tanpa bisa ia gapai lagi.
"Nggak papa kalo semisalnya seiring berjalannya waktu kakak lupa sama gue, 'kan udah ada foto kita berdua. Makanya itu gue beli bingkai ini buat orang-orang, agar kalo orang-orang lupa, terus liat foto gue disana, mereka inget kalo pernah hadir sosok yang kuat kayak gue hadir ditengah-tengah mereka."
"Nggak Yo, gimana bisa gue lupain anak sebaik lo? Kehilangan lo bukan suatu hal yang bisa di hapus gitu aja, lo nggak akan pernah hilang di hati gue." Rasanya menyakitkan, mereka memang tidak ada hubungan dari. Tetapi hubungan adik kakak yang sudah mereka jalan sudah cukuplah lama, Gama masih berpikir jika ini adalah mimpi.
"Bang, yang ikhlas." Naila, mengusap pundak sang kakak pelan. Cewek berhijab itu pun masih tidak menyangka, jika cowok yang baru ia temui beberapa kali itu pergi secepat ini.
"Fabio udah bahagia dek, tapi kenapa Abang nangis gini?" Naila tidak menjawab, hanya bisa membawa Gama kedalam pelukannya.
***
"Bun, bentar lagi aku bahagia. Aku udah di jemput." Airin menatap bingung Fabio, perkataan Fabio sungguh aneh dan melantur.
"Siapa yang jemput kamu? Nenek?" Fabio menggeleng dan menunjuk ke arah belakang Airin dan tersenyum manis.
"Itu, aku udah di jemput. Anak Bunda mau pergi, nanti nggak sakit lagi. Anak Bunda pulang, anak baik ini mau pulang," katanya dengan semangat. Sementara Airin bingung sendiri, tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Sikap Fabio mulai aneh setelah anak itu pulang terkulai lemas di punggung Gama, Airin meremas tangannya cemas.
"Bio emang mau kemana? Disini kan udah ada Bunda." Airin mengelus lembut rambut sang anak, hatinya gundah dan bingung.
"Mau pulang, surga indah Bunda. Fabio mau tinggal disana."
Tidak lama setelah mengucapkan hal tersebut, Fabio mengerang kesakitan. Airin yang panik langsung memanggil Andi untuk meminta bantuan, Fabio terlihat sangat kesakitan.
Airin sudah membujuk sebanyak mungkin agar Fabio mau di bawa ke rumah sakit, namun Fabio tetap ngotot tidak mau pergi ke sana walau ia terus merintih kesakitan. Tubuhnya begitu sakit, Fabio tidak tahu bagian mana yang sakit, untuk bergerak rasanya sudah tidak punya tenaga.
Fabio hanya meminta agar Satya, Yuni dan keluarganya yang lain datang dan menginap di sana. Fabio juga meminta tidur bersama Airin, minta di peluk dan memijit keningnya yang pening, Fabio terus mengatakan hal aneh hingga membuat keluarganya yang berkumpul tahu maksud anak tersebut.
Yuni mencium lama kening sang cucu cukup lama, sementara Fabio menatap kosong ke depan seperti tidak memedulikan orang yang mengajaknya bicara, suaranya seperti tercekat tanpa bisa mengatakan sesuatu untuk membalas.
Airin mengucapakan syukur yang sedalam-dalamnya, saat di pagi hari ia masih bisa merasakan bagaimana dada Fabio yang naik turun dengan mata yang terpejam damai, menandakan bahwa Fabio masih bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Akhir [END]✓
Hayran Kurgu"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa yang akan Fabio lakukan? Tetap berjuang hingga semesta menerimanya, atau memilih untuk menyerah sepert...