"Ma, bener deh aku nggak papa, seharusnya juga udah bisa pulang kemaren," rengeknya pada sang ibu. Pasalnya ibunya ini terlalu protektif padanya, padahal ia hanya mendapatkan lecet dan memar tidak sampai patah tulang saat beberapa hari yang lalu terjatuh dari motor saat akan berangkat sekolah.
"Nurut aja sama mama Gio, enak juga 'kan malah istirahat." Airin mencubit pipi sang anak dan dengan cepat Gio menghindar sebelum ibunya lebih banyak lagi mencubiti pipinya.
"Kalo istirahatnya di rumah mah enak, lah ini bau obat, nggak suka."
Airin tertawa kecil mendengarnya, seraya membenarkan Remada yang tertidur di gendongannya agar nyaman. "Iya-iya, nanti sore kita pulang." Gio tersenyum mendengarnya.
"Gitu dong."
"Kamu juga ngapain segala muter-muter mau ke sekolah? Harus ya lewat jalan sekitar sini?" Airin tidak habis pikir dengan anaknya, mengapa juga Gio tidak langsung ke sekolah dan justru melewati sekolah, berkeliling dan berakhir di rumah sakit.
"Tadinya tuh aku cuma mau jalan-jalan aja, ya mana tau kalo mau jatoh." Protesnya, mulutnya menjilati sisa-sisa bumbu keripik ditangannya.
"Jorok sih Gio. Cuci tangan 'kan bisa."
Gio hanya membalas dengan cengiran khasnya, ibu sambung ternyata tidak seburuk yang ada di televisi. Buktinya Airin begitu menyayanginya seperti anak kandung wanita itu sendiri, sementara ibu kandung Gio sendiri sudah berpulang pada Tuhan saat dirinya berumur 10 tahun dan 6 tahun lalu sang ayah menikah dengan Airin, di karuniai Remada yang menjadi pelengkap di keluarga mereka.
"Ma, pindahin adek ke sini aja. Kasian kalo tidur kayak gitu," Gio menepuk bed yang kini ia duduki, mengisyaratkan Airin untuk meletakkan sang adik disana. Gio memilih untuk turun dan duduk di sofa. Airin meletakkan hati-hati anak bungsunya, setelah memberi puk puk pada anak kecil itu dan memastikan aman, Airin mendekati Gio dan duduk disebelahnya.
"Ma, aku sayang mama." Airin sedikit terkejut mendengar perkataan Gio yang tiba-tiba, bahkan kini anak itu sudah menyenderkan kepalanya di pundak. Airin mengelusnya pelan seraya tersenyum hangat.
"Mama juga sayang kamu."
***
"BioGas!" Teriakan itu membuat kedua remaja yang tengah duduk di kantin membalikkan badannya untuk melihat siapa gerangan yang berteriak.
"Najwa," gumam Fabio sembari tersenyum saat cewek itu kini ikut duduk bersama mereka.
"Lo kenapa manggil kita Biogas?" Heran Bagas pada Najwa.
"Ya gue manggil kalian ngambil belakangnya aja, Bio itu Fabio, sama gas itu Bagas bener kan?" Jelas Najwa, Bagas beroh ria tapi langsung merubah rautnya tidak suka.
"Sekali-kali manggil gue sayang, ayang, beb atau apa kek," protes Bagas, selama mereka menjalin kasih Najwa tidak pernah memanggilnya seperti layaknya pasangan kekasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Akhir [END]✓
Fanfiction"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa yang akan Fabio lakukan? Tetap berjuang hingga semesta menerimanya, atau memilih untuk menyerah sepert...