Fabio tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya, rasanya begitu sakit setiap ia menggerakkan sedikit tubuhnya saja. Keningnya terus mengerut ke dalam tanda ia menahan sakit, ia ingin mengadu tentang rasa sakitnya, tapi begitu sulit hanya untuk mengeluarkan suara.
"Uhuk uhuk." Suara batuk terdengar darinya, menyadari ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya, dan itu membuat Fabio panik setengah mati. Kelopak matanya memang masih terpejam sebab merasakan sakit, namun tangan kirinya yang lemah berusaha menarik selang yang mengganggunya itu.
Hingga ia merasakan tangannya di tahan pelan oleh seseorang, membisikkan kepadanya jika ia harus tenang dan menginstruksikan dirinya untuk membuka matanya perlahan-lahan, Fabio akhirnya menurut walau ia masih panik dengan apa yang terjadi. Matanya mengerjai beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang menembus kedua retinanya, matanya bergulir ke arah orang-orang yang kini tersenyum haru padanya.
"Alhamdulillah, terimakasih banyak Ya Allah." Kata salah satu dari mereka.
"Fabio? Apa itu nama mu?"
Butuh waktu lama Fabio merespon dengan menganggukkan kepalanya pelan saat dokter menanyakan kondisinya beberapa kali, ia hanya bisa mengangguk dan menggelengkan kepalanya ketika dokter memeriksa kondisinya. Sungguh tubuhnya sakit sekali, Fabio ingin kembali tertidur.
"Bio..."
Fabio yang tengah memejamkan matanya sembari merasakan sakit itu membuka matanya kembali ketika mendengar suara yang di tujukan padanya, suaranya begitu lembut dan begitu tersirat makna akan kerinduan. Sorot matanya teralihkan kepada wanita yang menggenggam erat tangannya dengan lembut, menatapnya dengan penuh kasih sayang tanpa ada kebencian di dalamnya, Airin.
Entah apa reaksi yang seharusnya Fabio berikan, hatinya bahagia dan sedih bersamaan. Mati-matian dirinya menjaga air mata yang sebentar lagi akan tumpah, Fabio tidak boleh menangis didepan sang ibu, Airin tidak suka anak yang lemah sepertinya.
"Ini Bunda." Tepat mengatakan itu, Fabio memalingkan wajahnya, dan berhasil membuat hati Airin mencelos begitu saja. Melihat reaksi Fabio yang seperti ini, itu artinya sang anak tidak suka akan kehadirannya 'kan? Harusnya memang begitu, sebab perlakuan Airin pada Fabio lebih dari ini.
Melihat sang anak yang enggan menatapnya, Airin tersenyum memaklumi, "Bio marah sama bunda? Nggak papa, bunda ngerti kok... Pastinya rasanya sakit banget ya? Maafin bunda... Kalo udah nggak marah, Bio boleh panggil bunda kalo butuh bantuan ya."
Ada perasaan bahagia ketika ia yang pertama kali mengetahui Fabio telah sadar, rasanya begitu berat Airin harus meninggalkan Fabio di dalam ruangan tersebut, Airin tidak mau sang anak yang masih dalam pemulihan merasa tidak nyaman ketika ia ada disana.
"Jangan bersedih seperti itu, semuanya tidak sebanding dengan apa yang kau berikan pada Fabio. Ingatlah seberapa besar kau melukai hatinya." Ucapan tersebut Airin dapatkan ketika ia keluar dari ruang rawat Fabio.
"Mama sebenarnya bisa saja tidak memperbolehkan dirimu untuk menemui Fabio, tapi mama masih punya hati untuk bisa memaafkan mu sebagai anak mama. Mama jelas kecewa dengan mu Rin, namun mama tidak mau egois seperti apa yang kamu lakukan."
Yuni menundukkan kepalanya, meratapi penyesalan yang ia buat sendiri. Entah dari mana berasal sifat egois dan biadabnya ini, yang jelas Airin begitu hancur akibat ulahnya sendiri.
"Maaf ma, aku janji setelah Fabio keluar dari rumah sakit. Aku akan membawa Fabio tinggal bersama ku, agar aku bisa menebus kesalahanku selama ini."
Yuni tertawa meledek mendengarnya, "kamu bercanda? Apa kamu pikir mama akan diam saja saat kamu membawa Fabio dari mama? Kamu yang bilang sendiri jika kamu sudah tidak peduli terhadap Fabio, lalu untuk apa kamu dengan seenaknya mengatakan untuk membawa Fabio? Apa hak mu Rin?"
"Karna aku ibu nya ma, aku yang mengandung dan melahirkan."
"Ya, mama tau itu. Tapi apa kamu pikir Fabio akan menerima kembali dirimu? Apa kamu pikir dosa mu bisa di hapus begitu saja dengan mengataskan kau yang mengandung dan melahirkan?"
Airin bungkam, mungkin benar dosanya sudah tidak bisa diampuni. Tapi walau itu benar, tolong berikan kesempatan untuknya untuk kedua kalinya agar bisa menjadi ibu yang baik.
***
Fabio hanya bisa memandang langit-langit ruang rawatnya, dengan penyangga leher ia tidak bisa bergerak banyak, karena diarea sana ada cedera, belum lagi alat-alat lainnya yang masih setia menempel di tubuhnya, Fabio tidak tahu area mana saja di tubuhnya yang mengalami cedera, sebab semuanya sakit. Ia masih mencoba mengingat apa yang membuat dirinya harus terbaring lemah di sini, Fabio memejamkan matanya ketika ia tahu apa yang terjadi.
"Bio, ini ayah." Suara itu mengalihkan perhatiannya, ia melirik ke arah laki-laki yang duduk di kursi sebelah bednya, itu Rio.
"A-ayah?" Pelan dan serak, Fabio mencoba memanggil pria itu untuk memastikan di balik masker oksigen yang ia gunakan. Walau ia sudah tahu Rio bukanlah ayah kandungnya, hal itu tidak membuat Fabio melupakan jasa-jasa Rio yang sudah merawat dirinya saat kecil.
"Iya, ini ayah. Disini juga ada kak Tiara." Fabio melirik ke samping pria itu, benar saja, di sana juga ada Tiara yang menemaninya.
"Kak Tiara," gumamnya, Fabio senang bisa di berikan kesempatan untuk bisa melihat sang kakak kembali, "Bio kangen ayah sama kakak."
"Iya, sekarang udah nggak kangen 'kan? Ayah sama kakak di sini." Jika bisa pun Rio ingin memeluk Fabio saat ini, perasaan bersalah hinggap ketika Fabio tidak sekalipun menatapnya penuh kebencian.
"Ayah sama kakak jangan pergi lagi, Bio capek nyari kalian," keluhnya, Fabio takut di tinggalkan lagi.
"Nggak dek, kakak janji bakal sering main lagi sama adek kayak dulu. Nanti kakak yang akan usapin dada adek kalo sakit lagi... Nanti kita kayak dulu lagi ya?" Ucap Tiara meyakinkan sang adik, Fabio sudah melewati semuanya sendirian dan Tiara tidak mau membuat Fabio sendirian lagi.
Fabio mengulam senyum tipisnya, mustahil jika mereka bisa seperti dulu lagi. Airin sudah dapat kebahagiaannya sendiri, begitu juga dengan Rio dan Tiara, sangat tidak mungkin semua kembali seperti semula, layaknya nasi yang sudah menjadi bubur.
"Ayah sama kakak bahagia?" Lontaran kata itu membuat kedua orang yang ditanyai mengangguk bersamaan, Fabio tersenyum kembali.
"Kalo gitu Bio juga akan cari kebahagiaan Bio sendiri... Kalau Bio udah dapet kebahagiaan itu, dan udah saatnya Bio bahagia... Ayah dan kakak harus ikhlas ya?" Kalimat terakhir yang di ucapkan membuat kedua orang itu sedikit terhenyak.
"Kok adek bilangnya gitu?" Rio menyahuti.
"Ayah... Kalo ada waktu, nanti kita solat bareng ya." Bukannya menjawab, Fabio malah mengalihkan pembicaraan. Ia ingin egois dengan mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
TBC...[]
Lampung, 25082022
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Akhir [END]✓
Fanfiction"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa yang akan Fabio lakukan? Tetap berjuang hingga semesta menerimanya, atau memilih untuk menyerah sepert...