29. Dara

6 18 0
                                    

"Keluarga adalah tempat mu untuk pulang? Tapi apakah itu juga berarti sama bagi Arsya?"
-
-
-
-
-

Arsya menutup bukunya. Sudah pukul 01:00. Perutnya sedikit lapar, dia lupa belum makan malam. Arsya beranjak dari tempatnya lalu menuju dapur. Dia membuka kulkas. Masih ada sup yang di masaknya bersama Arya.

"Makan disini aja kali ya?" Gumamnya.

Arsya memanaskan nya. Seseorang menuju dapur dan berdiri di daun pintu. Arsya melirik, tampak Andra diam tak bersuara berdiri disana. Arsya tersenyum hangat.

"Papa lembur? Mau kopi atau teh?" tanyanya ketika melihat baju yang digunakan Andra.

Seperti biasa, Andra tidak menjawab. Dia meninggalkan Arsya sendiri. Arsya menghela nafas. Ini selalu terjadi. Arsya memindahkan sup nya ke mangkok lalu memanaskan air.

Dia makan dulu selagi menunggu air itu mendidih. Karena Arsya gak tau Andra ingin apa, dia membuatkan keduanya. Menaruhnya di nampan lalu membawanya.

Arsya sampai di depan pintu kamar Andra, dia mengetuk dulu sebelum masuk. Andra masih berkutat dengan lembar lembar kantor di kamarnya. Arsya menaruh nampan itu di meja.

"Arsya gak tau papa mau apa, jadi Arsya buatin dua dua" ucapnya.

"Saya ada suruh kamu untuk buat? Bawa lagi ke dapur" ujar Andra dingin tanpa melihat Arsya.

"Pa, kapan papa bisa anggap Arsya ada?" Tanya Arsya dengan senyum dibibirnya.

Hidup bertahun tahun seperti ini bukanlah hal yang diinginkan Arsya. Pernahkah kau hidup tapi di anggap mati? Itu yang Arsya rasakan.

"Bisa kembalikan Dara lagi?" tanya Andra dan menatap Arsya lekat.

"Tapi yang celakain mama bukan Arsya, Pa!" Sambung Arya yang sudah masuk ke kamar Andra. Itu membuat Arsya menoleh ke arah kakaknya.

"Tapi dia penyebabnya, Arya!" Andra meninggikan nada suaranya.

Arsya tercekat, dia selalu menahan air mata itu agar tidak tumpah. Selalu ingat kata kata Dara, "jagoannya mama, jangan nangis".

" pa, kepergian seseorang itu karena takdir pa. Itu ketetapan Tuhan. Arsya juga gak mau mama pergi pa. Arsya juga gak mau kehilangan mama."

"Tapi sikap kekanak-kanakan kamu itu yang menyebabkan Dara pergi! Kamu pergi dari rumah! Kamu yang diselamatkan Dara!"

"Kebencian papa sama Arsya gak mendasar, pa" ucap Arya yang sudah mulai muak dengan ini semua.

"Papa selalu bedain Arsya sama Arya. Papa gak bersikap adil buat kita." Sambung Arya lagi.

"Apa karena Arsya gak sepintar kak Arya, pa? Apa karena Arsya yang buat mama pergi, pa? Atau karena papa malu punya anak yang gak bisa papa banggain ke temen-temen papa, " Arsya tersenyum lagi. "Maaf kalau selama ini. Aku cuman bisa jadi beban buat papa"

"Pa, kita keluarga." ucap Arya lirih.

"Kalian bisa keluar?" Andra membuka jasnya.

"Seandainya yang mama selamatin itu Arya, apa papa juga bakalan kayak gini sama Arya?"

"ARYA!"

Arya tersentak, ini kali pertama Andra membentak nya.

"Anak ini, memang pembawa sial! Perusahaan papa hampir bangkrut karena dia. Semua berkas jadi bahan mainan buat dia. Semua hal menjadi mainan buat dia. Bahkan setelah kepergian Dara, dia gak merasa menyesal sedikitpun. Kamu liat? Dia nyalahin papa karena bersikap seperti itu. Tapi apa dia sadar kalau itu semua karena ulah dia?" jelas Andra panjang lebar.

"Arsya masih kecil saat hilangin dan rusakin berkas papa! Arsya juga ngerasa bersalah karena kepergian mama pa," jelas Arya.

"Lihat? Apa dia gak punya mulut buat jelasinnya?" Andra tersenyum miring.

"Pa, kalau Arsya pergi. Papa bahagia kan?" tanya Arsya.

Andra diam. Arya melototi Arsya.

"Lo ngomong apa!, udah cukup gue kehilangan mama!" Arya mencengkram pundak Arsya.

"Gue ke kamar duluan, kak" ucap Arsya dan pergi keluar.

Arya menatap Andra yang masih diam membisu. "Sekarang, bukan Arsya yang kekanak-kanakan. Tapi papa. Arya gak percaya ada orangtua yang gak sayang anaknya. Tapi sekarang, mungkin Arya percaya. Makasih udah nunjukin kalau itu nyata. Mungkin papa gak masalah kalau Arsya pergi. Tapi bagi Arya, Arya gak mau kehilangan lagi. Selama ini, Arsya yang selalu ada buat kita. Tanpa papa sadari" jelas Arya dan ikut meninggalkan Andra sendiri.

Andra memukul dinding. Dia hanya benci ketika Dara pergi, Dara yang menyebabkan dia bisa sampai di titik ini. Dara yang selalu ada untuknya. Tapi, dia tidak pernah bertanya, kenapa Dara sangat menyayangi Arsya.

Andra menelusuri kamarnya. Dia mengambil sebuah foto yg tertempel di dinding dan kembali duduk di kasur. "Gimana saya bisa lupain kamu? Gimana saya bisa ikhlasin kamu?. Kamu yang menemani saya hingga bisa menjadi seperti sekarang."

Andra mengusap foto Dara. Dia menangis hingga air matanya menetes di atas foto Dara. Andra mengingat semuanya. Dulu dia tidak seperti sekarang. Dia lahir dari keluarga yang hidup serba kekurangan. Lalu Dara hadir. Memberikan segalanya. Membuatnya merasa lebih dari cukup ketika Dara bersamanya.

"Kenapa kamu sayang sama Arsya, Dara?. Apa yang kamu banggain dari dia? Dia yang menyebabkan kamu pergi, dia yang buat kamu harus bolak balik ke sekolah karena masalah dia, dia yang buat perusahaan kita hampir bangkrut karena berkas berkas penting yang dia rusak. Apa yang kamu banggain dari dia, sayang?"

Andra mengusap pipinya. Sekilas terputar lagi memori. Ketika Arsya selalu menunggu Andra pulang, ketika Arsya selalu mencoba memberikan yang terbaik untuknya. Tapi semua itu seolah membuat Andra buta. Buta karena rasa cintanya pada Dara. Yang membuatnya menjadi membenci Arsya ketika Arsya yang menjadi penyebab dirinya berpisah dengan Dara.

Thanks for reading guys

Don't forget to like and coment

Cerita absurd by me

Pusssiiingggghhhh

Takdir

TAKDIR: Don't left me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang