27

311 84 7
                                    

Aurel melangkahkan kakinya ke arah pekarangan rumah pada saat jam menunjukan angka 12 malam. Sebenarnya tadi Orion menyuruh untuk Aurel menginap saja di markas,  tentu saja Aurel menolaknya karena biar bagaimanapun di sana lelaki semua.

Dan di sinilah Aurel berdiri, di depan rumah megahnya. Dia berdoa dalam hati semoga mereka semua tidak ada di rumah. Atau paling tidak sudah pada  sudah tidur. Karena Aurel sudah terlalu lelah hari ini, jadi dia malas untuk berdebat lagi.

Setelah berhasil membuka kunci, Aurel mendorong pintu putih itu dengan perlahan. Suasana di dalam rumah itu begitu gelap. Dengan mengendap dia memasuki rumah.

"baru pulang?" Aurel terperanjat saat mendengar suara mengintimidasi itu.

Karena tidak ingin ribut, Aurel tidak menghiraukan seseorang yang sedang duduk di sofa. Saat akan menaiki tangga, tangannya di tahan.

"Please gue lagi gak mau ribut, setidaknya untuk hari ini," Aurel menghela nafasnya, hari ini tenaganya terkuras habis, belum lagi seluruh badannya terasa remuk.

"Gue tanya lo darimana? Pulang tengah malam dan masih mengenakan seragam," satria menelisik penampilan Aurel yang berantakan.

"Atau jangan - janga Lo habis nge jalang?" Seringai tipis muncul dari bibir satria saat melihat wajah Aurel memucat.

"See? Benerkan lo habis ngejala--"

"Jaga ucapan lo brengsek," tangan Aurel terangkat menampar pipi Satria dengan dada yang naik turun.

"Gak usah so keras! Lo itu cuman seorang pembunuh!"

"Udah berapa kali gue bilang sama kalian kalau gue bukan pembunuh," teriak Aurel.

"Bahkan setelah gue pulang tengah malam pun lo gak punya rasa khawatir sedikit pun."

"Ngapain gue khawatirin lo yang habis nge jalang," jawab Satrianfengan santai.

Aurel terkekeh miris. "Asal lo tau, gue nungguin lo berjam - jam di tempat lo nurunin gue."

Satria seketika terdiam. Dia tidak menyangka Aurel akan menunggunya. Tadi saat di perjalanan memang satria mendadak mendapat panggilan penting dari temannya.

"Ya gue ninggalin lo karena ada urusan," elak Satria.

Aurel menganggukan kepalanya, tangan kanannya terangkat menghapus air mata yang membasahi pipinya. " Dan asal lo tau, dengan ninggalin gue di sana gue hampir aja mati dan hampir aja di lecehin oleh orang - orang yang gak di kenal."

"Apa sebegitu nya lo gak peduli, sampai - sampai lo gak sadar di tubuh gue banyak luka."

Satria tertegun mendengar penuturan Aurel. Bahkan dirinya tidak menyadari bahwa Aurel berjalan dengan sedikit pincang dan begitu banyak memar di wajahnya.

Aurel tertawa kencang dengan air mata yang terus mengalir. "Benerkan lo gak menyadari itu?"

"Gue capek bang, selama ini kalian semua selalu anggap gue orang yang paling bersalah atas kematian kak star. Seolah - olah kalian semua yang paling sakit, dan tanpa perasaan kalian nyalahin gue, tanpa pikirin gimana perasaan gue, gimana hancur nya gue saat itu."

Aurel menghela napas panjang, dadanya terasa sesak ketika mengingat kejadian yang merenggut kebahagiannya, membuat. Hidupnya menjadi gelap.

"Sekali aja gak usah salahin gue. Gue capek bang, gue cape selalu di hantuin oleh rasa bersalah. Bahkan kak star pun ikut nyalahin gue,"

"Ya itu emang salah lo, jadi lo pantas Nerima itu semua," ujar satria sarkas.

"Bahkan setelah kejadian yang menimpa gue hari ini pun gak ada setitik pun rasa bersalah di hati lo," Aurel mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

ORIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang