3 | dua sisi

2.8K 268 18
                                    

Tolol.

Nyaris setiap hari, Naresh merutuki tindakan tololnya.

Bahkan setelah berbulan-bulan terlewat, Naresh masih nggak bisa melupakan kejadian malam itu. Dirinya seperti dikendalikan sesuatu sampai nggak bisa mengenali dirinya sendiri dan apa yang dia lakukan.

Jadi apa coba jika malam itu Bunda nggak tiba-tiba menelponnya, mungkin dia sudah.. ah, Ya Tuhan. Naresh rasanya ingin meninju wajahnya sendiri setiap kali mengingat memori yang nggak bisa ia hapus dari ingatannya itu.

Konsekuensinya tidak main-main. Dia bukan hanya akan menghancurkan hidup gadis yang ia cintai, tapi juga hidupnya sendiri.

Belum lagi amukan dari om Yanuar jika pria itu tahu dirinya bertindak brengsek pada putrinya. Sebab, pria itu sudah menaruh percaya besar padanya. Naresh mungkin nggak akan diberi kesempatan melihat matahari terbit jika hal itu betulan terjadi.

Membayangkannya saja.. mengerikan.

Naresh termenung di kantin fakultasnya sendirian. Malam itu nyariiiiiis sekali.  Sial. Naresh rasanya ingin memotong jari-jari lancangnya ini.

Lagi lagi merutuki ketololannya. Kenapa dirinya selalu kesulitan mengendalikan diri setiap berdua bersama Winter. Mana tuh cewek kelihatan pasrah-pasrah saja, Naresh kan jadi tersiksa begini caranya.

Minuman yang ia pesan di anggurkan sejak tadi. Tanpa peduli es batunya yang sudah mencair jadi air.

"Bang!"

Naresh terlonjak kaget saat pundaknya ditabok cukup keras. Naresh menoleh mendapati seorang gadis berambut ekor kuda tengah tergelak puas. Bianca. Adik sepupunya.

"Sok asik lu." Naresh menarik rambutnya yang menjuntai kebelakang menuai rengekan gadis itu. Dia masih mahasiswi baru, tapi kelakuannya nggak ada jaim-jaimnya.

"Bagi duit dong, duit gue abis buat beli album sama boba."

"Yaelah, lo pikir gue ATM berjalan bisa lo mintain duit kapan aja. Kemarin lo udah malak gue 3 ratus ribu, ye Bi, Babi."

Bianca berdecak, lantas mendengus kesal. "Pelit amat sih. Kalau gue minta bang Jerry pasti langsung dikasih segepok. Sayangnya dia lagi di Amsterdam. "

"Ya udah lo susulin sono Jeriko ke Amsterdam, gausah morotin gue." Naresh menyugar rambutnya dengan jari-jari. "Kenapa lo pake balik ke Indo sih? Udah paling bener di Aussie sono. Ngerepotin gue aja lo disini."

"Seratus aja deh, gue nggak akan recokin lo lagi besok-besok. Deal? Papi kirimnya telat dan chat gue nggak dibalas tauuuuk!"

"Derita lo." Naresh memasang wajah meledek. Bianca masih berdiri disana dengan wajah bersungut. "Siapa suruh foya-foya terus. Lo pikir cari duit gampang, bocah?"

"Ck, pasti ngenes banget yang jadi pacar lo bang. Dimintain jajan adeknya aja pelit banget! PELIT!"

Naresh merotasi bola matanya. "Gausah belagu, gue kating lu ye disini, yang sopan lu."

Bianca justru memenyekan bibir mengejek. "50 deh, 50! Buat ongkos balik ke kosan!" 

"200 ribu. Senam zumba dulu didepan Sergio."

Mendengar nama Sergio, Bianca seketika melotot dengan wajah merona. Naresh menyeringai, lalu menoleh ke arah salah satu kawannya yang terkenal jutek dan ketus pada semua orang itu yang kini mojok di sudut kantin sambil baca komik.

"Oy, Sergy! Ada maba nyasar yang nyariin lo nih! Katanya dia mau goyang-mmppft!"

Bianca sigap membekap mulut Naresh dengan telapak tangan. "Abang mau mati?!" desis Bianca penuh penekanan.

I Wuf You  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang