8 | too late?

2.4K 274 48
                                    

Pertengkaran itu memang jadi pertengkaran paling parah selama periode Naresh pacaran sama Winter.

Bukan main, Naresh di banjiri hujatan dan makian yang sukses bikin dia merasa jadi orang paling jahat, brengsek dan tolol dimuka bumi ketika kenyataannya, Naresh nggak mampu menyangkal itu.

"Kalau kamu nggak bisa jagain dia, paling nggak jangan dibikin nangis dong!" kata Bunda kala itu.

"Maaf,"

"Kata maaf kamu nggak bisa menghilangkan rasa sakit yang dia rasa gara-gara omongan kamu. Sebelum bicara itu dipikir dulu, Nareshwara."

"Bunda sayang Winter seperti anak sendiri dan Bunda yakin dia bukan gadis seperti itu. Dia gadis baik-baik. Bunda kaget loh pas vidcall Winter dan lihat dia nahan nangis, awalnya dia nggak mau cerita tapi setelah tau yang sebenarnya.. Ya Tuhan, Nareshwara! Bunda nggak pernah loh mendidik kamu buat bertindak sejahat itu ke perempuan!"

Dia sayang Winter, tapi karena rasa sayangnya yang terlampau besar Naresh jadi nggak mengira akan dikecewakan dengan rasa sakit yang sama besarnya.

Naresh bahkan nggak sadar sudah melontarkan kalimat-kalimat sadis itu pada Winter. Karena kala itu, kepalanya benar-benar ingin meledak. Luapan emosinya tak terkendali dan mendesak untuk dilampiaskan.

Dengan segenap penyesalan yang dalam, Naresh mengajak Winter bertemu setelah 5 bulan usai prahara kala itu. Diluar dugaan, Winter menyetujui bertemu disebuah kafe bernuansa retro di sudut kota.

Naresh datang lebih dulu dan menunggu dimeja dekat kaca. Dia memilin tangan gelisah. Sangat gugup setelah sekian lama nggak bertemu. Jujur, Naresh malu dan mesti mengumpulkan keberanian untuk menatapnya nanti.

Lonceng berbunyi, pertanda seseorang baru melewatinya dan berjalan masuk. Aroma parfum yang sangat ia kenali menyapanya. Hingga sosok cewek yang ia nanti menarik kursi dan duduk dihadapannya.

"Sori, lama."

Naresh mengamati penampilannya. Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali bertemu. Diikat dengan pita hijau yang rapi. Membuatnya kelihatan soft dan manis. "Nggak apa-apa. Santai."

Winter menatap meja yang kosong. "Lo nggak pesan apa-apa?"

"Hng, nungguin kamu-" Naresh berdehem canggung. "Nunggu l-lo."

"Oh." Winter menatap buku menu sesekali melirik Naresh yang sejak tadi menunduk. "Lo mau pesen apa?"

Naresh nggak bisa menyembunyikan kegugupan nya. "Apa.. aja."

"Kayak biasa?" Winter memastikan yang dijawab anggukan kaku Naresh. Winter memanggil seorang pegawai kafe itu dan mengatakan pesanan. "Americano sama Vanilla Latte nya satu, mas."

Pegawi itu pergi usai mengkonfirmasi satu kali. Kini, keduanya diam lagi. Winter ingin melontarkan kata tapi lidahnya terasa kelu, begitupun Naresh. Terlalu lama nggak saling berkabar dan bertemu membuat jarak itu terasa nyata.

Meski Winter sudah mencoba berdamai dengan lukanya, tapi tetap saja. Rasa takut, gelisah dan perih itu masih tersisa dan tak mungkin hilang selamanya.

Lalu tiba-tiba..

"Ter."

"Na."

Keduanya saling pandang saat berkata dalam waktu yang bersamaan. Lalu tersenyum miris. "Lo duluan."

"Nggak, lo aja."

"Lo aja, Na."

"Lo aja.. duluan."

"Lo."

"Lo."

Keduanya diam lagi. Sama-sama menatap ke arah lain, mereda kecanggungan yang melanda. Selama belasan tahun, baru kali ini mereka merasa awkward satu sama lain.

I Wuf You  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang