36 | sayangnya papa

1.4K 179 66
                                    

"Mama masih marah ya sama aku?"

Pagi ini, tepat sepekan usai kejadian Aran yang mendadak hilang dan tahu-tahu lagi nontonin bocah komplek main petasan di Masjid.

Tahu nggak pakaian macam apa yang lagi Aran pakai kala itu?

Aran pakai sarung lengkap sama baju koko warna biru muda dan peci hitam.
Satu lagi yang bikin Naresh dan Winter shock berat adalah Aran yang jadi kelewatan rajin nyanyi lagu sholawat dirumah.

Pas ditanyain Naresh, "Siapa yang dandanin kamu pakai baju kayak gini?!"

"Temen-temen ku lah, si Farel sama Danang." Aran menjawab dengan cengiran tanpa dosa. Dia mengambil lagi peci yang tadinya Naresh copot dikepalanya untuk dipasang lagi. Habis itu berpose keren dengan menaruh telunjuk dan jempolnya dibawah dagu.

"Keren kan, Pa? Katanya Anin aku tambah ganteng hehe."

"Terus kamu nurut-nurut aja gitu???" Winter ikutan frustrasi. "Kamu tau nggak sepanik apa Mama nyariin kamu! Kamu bikin Mama khawatir Aran!"

Senyum Aran pudar, berganti wajah bersalah campur takut. "Maaf, Mama."

"Papa udah pernah bilang kan, kalau mau main atau kemanapun itu, harus izin Papa dan Mama dulu. Nggak boleh main pergi-pergi gitu aja, Arandhani."

"Aku udah izin, Pa, Ma!" Aran ngeles. "Tapi kalian nggak dengar-dengaran aku, yaudah aku pergi aja!"

"Terus kenapa kamu disana tadi? Nyariin apa? Petasan?"

Perlahan Aran mencopot kembali peci itu dari kepalanya. Terus ditaruh hati-hati didekat Naresh yang masih menatapnya tajam tanpa ekspresi. "Katanya Farel kalau aku ikut, bakal dapat jajan banyak. Ya aku kan mau jajan juga kayak mereka. Dan Danang bilang kalau aku gapapa ikutan, tapi harus pakai baju begitu."

Besoknya, Naresh langsung ngajak Aran pergi gereja bareng Winter.

Apakah drama itu selesai sampai disitu saja? Oh tentu saja nggak.

Sewaktu Naresh jalan sambil menggandeng tangan Aran memasuki gereja dengan Winter mengekor dibelakang. Aran menatap sekeliling dengan pandangan takjub. Dia melihat banyak orang disana lalu tahu-tahu, entah dapat ide darimana anak itu tiba-tiba berseru lantang dan keras.

"Assalamualaikum semuanya!"

Satu ruangan menghening seketika.

Naresh garuk-garuk pelipis dengan senyum kaku. Winter sigap menarik tangan Aran dan menyuruhnya tutup mulut saat seluruh pasang mata di ruangan itu tertuju ke arah mereka.

"Mama."

"Hm?" Winter nggak sadar sudah senyum-senyum geli sendiri mengingat kejadian itu. Winter juga nggak bisa marah, namanya juga anak kecil. Dia cuma mesti berusaha memberi pengertian supaya pelan-pelan Aran bisa mengerti.

"Mama diam aja, Mama beneran masih marah ya sama aku?" Aran menarik-narik ujung baju Winter dengan bibir mengerucut. Wajah melas dan sedih maksimal. "Maaf, aku nggak akan ulangi lagi."

"Nggak mau, ah. Mama masih pengen ngambek sama kamu." Winter melengos dengan ekspresi sebal yang dibuat-buat. Bikin Aran makin mencelos.

"Mama.." Suara Aran melirih dengan sorot terluka sewaktu Winter beranjak dari kasur untuk menaruh baju-baju yang selesai dilipat kedalam lemari baju.

Aran tengkurap dikasur dengan dagu ditaruh diatas lipatan lengan. Menatap Winter yang mondar-mandir didepan lemari habis itu menyapu dari sudut ruangan.

Aran masih berdiam diposisi itu, tapi sekarang kepalanya sudah menempel ke bantal. Telunjuknya sibuk menggambar mengikuti pola-pola abstrak sprei yang jadi pelapis kasur.

I Wuf You  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang