29 | euforia

1.9K 177 63
                                    

Naresh menumpukan dahinya diatas lipatan lengan di atas meja usai nyaris 2 jam penuh menghadap layar laptop tanpa jeda sedikitpun.

Hari ini dirinya seperti diserbu segunung kerjaan yang mesti diselesaikan hari itu juga.

Pikirannya juga tak tenang, raganya mungkin disini. Tapi jiwanya seolah melayang jauh ke tempat lain. Naresh mengusap wajah kasar lantas memijat pangkal hidungnya yang pengar. Kepalanya pening sejak tadi.

Naresh tak berani minum obat pereda pusing atau apapun itu karena akan memicu kantuk. Sementara berkali-kali, Naresh mengecek ponselnya dengan gelisah.

Bukan tanpa alasan, kemarin malam Winter mengeluh perutnya sakit dan mulas. Sempat keram ringan juga tapi mendadak reda dengan sendirinya. Naresh sudah panik, tapi katanya tak apa-apa.

Meskipun Bunda kini menemani Winter dirumah, hal itu nggak mengurangi rasa cemasnya saat ini.

Ketika menjelang jam makan siang, Naresh rasanya tak sanggup lagi menelan sisa makanan yang tengah ia kunyah sesaat setelah menerima telepon dari rumah.

"Ya, Nda?"

"Nak, bisa pulang sekarang?"



*




"Maaf ya, Nda. Jadi ngerepotin. Bunda jadi bolak-balik kesini terus buat nemenin aku."

Ayura yang lagi mengupas semangka menoleh pada Winter. Lantas menggeleng-gelengkan kepala. Senyum keibuan tak pernah surut dari bibirnya. Pisau yang ia gunakan untuk menyayat kulit semangka diletakkan sejenak. "Ngomong apa kamu ini. Ada-ada aja."

Winter tiba-tiba nyengir. "Nana kalau senyum mirip banget sama Bunda ya."

"Oh, ya? Dari ketiga anak Bunda kayaknya cuma Nana yang nyerempet mirip. Jessie sama Raga plek ketiplek mas Ren ya."

Keduanya tergelak bersamaan. Winter berjalan-jalan disekitar sana karena merasakan tak nyaman di area pinggang lalu berhenti saat sampai di depan kulkas. Hanya dibuka tanpa alasan untuk kemudian ditutup lagi.

"Bunda boleh tanya sesuatu nggak, nak?"

"Boleh. Nanya apa, Nda?" Winter berjalan mendekati Ayura yang kini mencuci tangan usai memotong semangka.

"Duduk disana aja, yuk."

"Okayyy!"

"Hati-hati, Winter."

Bunda memegangi lengan Winter seraya menuntunnya pelan-pelan sampai ke sofa. Setelah duduk dengan nyaman. Ayura baru berkata. "Selama kamu hamil, Nana pernah marah nggak sama kamu? Maksud Bunda tuh, yang kayak waktu itu. Pas jaman kalian masih kuliah. Bentak kamu? Marah-marah gitu?"

Winter menusuk potongan semangka dengan garpu sebelum disuapkan ke mulut. "Nggak sih, Nda. Nana baik kok. Kelewatan malah baiknya."

"Bener?"

"Hm-mh. Tapi yang nyebelinnya tuh dia jadi over protektif sama aku. Apa-apa nggak boleh, makan ini-itu, begini-begitu, semuanya di larang. Terus dia suka ngomel panjang. Kadang kalau aku bete, aku diemin aja tuh dia."

Ayura tertawa kecil sembari mendengarnya berceloteh. Rasanya Ayura seperti mendengar Naresh versi perempuan yang lagi nyerocos.

"Haduh, capek deh pokoknya. Yang hamil tuh aku ya, Nda. Tapi yang suka uring-uringan nggak jelas sama panikan tuh dia melulu."

"Maklum, Winter. Nana memang begitu kan dari dulu. Suka drama banget. Apalagi kalau itu menyangkut kamu dan," Bunda mengelus perutnya lembut. "Calon anak kalian."

I Wuf You  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang