Naresh tak tahu mesti bersyukur atau merutuk karena masih diberi kesempatan bangun dan melanjutkan hidup.
Meski pening dikepalanya bukan sesuatu yang bisa ia anggap enteng. Semenjak pertengkaran hebat malam itu, Winter rupanya masih disana. Gadis itu belum menyerah mendapat maaf darinya.
Naresh menghabiskan waktu diluar meski dalam kondisi demam tinggi. Teman-temannya melempar tatapan cemas dan mulai menebar spekulasi saat Naresh beberapa kali mimisan sewaktu dikelas tadi.
Tapi lelaki itu nampak biasa saja dan menyekanya dengan tisu seolah bukan perkara besar.
"Lo beneran nggak apa-apa, Res?"
"Gue oke, Ra."
Sara mencekal lengannya, membuat langkah Naresh seketika terhenti. Kedua matanya menyorot lemah dan sayu. "Apa?"
"Gue setirin sampai kosan lo ya, Res? Gue khawatir lo kenapa-napa dijalan."
Naresh melepas tangan Sara dari lengannya perlahan. Lalu mengukir senyum tipis. "Makasih. Tapi gue baik-baik aja. Bisa sendiri."
"Lo jelas nggak baik-baik aja. Lo mimisan 3 kali dikelas Naresh!"
"Udah biasa." Naresh memejam sejenak, lalu memunggungi Sara dan melangkah menjauh.
*
Hari itu Naresh baru balik ke kosan ketika langit sepenuhnya gelap, itupun atas suruhan teman-temannya yang khawatir atas kondisinya. Bahkan Reksa nyaris menggendongnya pulang jika Naresh nggak segera beranjak dari tempatnya.
Turut didukung dengan rasa pusing hebat dikepalanya. Tapi ia terus memaksakan diri dan seolah sengaja memberi siksaan pada tubuhnya sendiri.
10 menit Naresh menghadap laptop. Kepalanya terus berputar. Memicu rasa mual diperut. Rasanya seperti di aduk-aduk. Ini mungkin juga efek obat tidur yang terus ia konsumsi dalam dosis berlebihan.
Lama-lama gejolak itu semakin menjadi.
Naresh menepuk-nepuk dadanya beberapa kali seraya menelan ludah. Mencoba mereda gejolak itu. Tapi tak berhasil. Desakan itu kian intens."Humph!" Naresh kelabakan bangkit. Satu tangannya meraba dinding, satu lagi membekap mulut. Berjalan lemas keluar dari kamarnya.
"Hai!" sapaan Winter ia abaikan. Naresh buru-buru melesat ke kamar mandi.
Winter tersenyum kecut. Lantas meneruskan menuang bubur ke dalam mangkuk. Niatnya sih mau dia kasi ke Naresh. Dia yakin cowok itu belum makan apapun dari pagi. Siapa tahu kali ini dia mau memakannya.
Tapi aktivitasnya terjeda saat mendengar suara ganjil dari kamar mandi. Winter segera kesana dan membelalak saat melihat Naresh berjongkok dan memuntahkan cairan dari mulutnya.
Winter menekan flush pada kloset. Lantas memegangi kedua lengan Naresh yang nyaris ambruk. Wajahnya kelewat pucat. "Badanmu panas banget, Na. Jangan dipaksain dong."
Winter mengusap keringat dingin di dahinya dengan telapak tangan. Menatapnya penuh kekhawatiran. Naresh bersandar sejenak di bahunya, mengatur napas. "Istirahat, ya?"
Alih-alih berterimakasih, Naresh justru mendorongnya dan berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Winter.
Winter menyusulnya ke kamar yang menuai tatapan tak suka dari Naresh.
"Dikasih minyak ya perutnya?"
Naresh bersandar ke tembok dengan wajah dingin. Membuat Winter melirik laptop yang terbuka. "Jangan dipaksain, kamu butuh istirahat. Muka kamu pucat banget tau. Takutnya dehidrasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wuf You ✓
Romance[ Book II ] Kelanjutan cerita Nareshwara dan Winter Cassandra dari book sebelumnya yang berjudul Winter.