43 | kembali pulang

1.6K 198 29
                                    

Naresh itu punya ingatan yang cukup payah. Dia seringkali melupakan dimana letak benda-benda yang baru beberapa jam saja ia letakkan.

Tapi Naresh tak pernah lupa, bagaimana pertemuan pertama kalinya bersama sosok yang entah bagaimana caranya, kini menjelma jadi segalanya buat Naresh.

Sosok gadis yang pelit senyum namun nampak begitu manis. Sosok yang lebih akrab berteman sepi, kuas dan kanvas lukis daripada segelintir manusia. Sosok yang begitu menggilai susu pisang. Sosok yang terlalu rumit untuk dibaca dan dimengerti.

Kala itu, belasan tahun lalu--di komplek rumah yang sama Naresh bertemu dengannya.

Naresh belum tahu siapa namanya, tapi teman-teman mainnya memanggil gadis kecil yang kerap menyendiri di taman komplek--duduk memangku buku gambar itu--Winter.

"Namanya keren."

"Menurutku malah aneh. Anak itu juga aneh banget. Dia pasti nggak punya teman main, makanya sendiri terus!"

"Mana ada yang mau temanan sama anak aneh ahahaha!"

Kala itu teman-temannya tertawa. Tapi Naresh tidak. Letak lucunya dimana? Dirinya justru penasaran dengan gadis yang teman-temannya sebut aneh itu.

"Jangan gitu, dong. Kata Bundaku gak boleh ngejek-ngejek orang. Nama itu doa, tau!"

"Aih, kamu belain dia, ya? Cieeee, Nana!"

"Apasih! Aku kan cuma bilangin kalian biar nggak ngejek nama orang!"

"Nama kamu juga aneh, masa laki-laki dipanggil Nana. Kayak perempuan aja."

"Ya biarin! Suka-suka aku lah!"

"Cie cieee Nanaaa!"

Setiap menjelang sore, Nana kerap main bersama anak tetangga sekitar. Petak umpet, kejar-kejaran, lari-larian dan rutenya pun sama. Disekitar taman komplek.

Sore itu, Nana main sama kawan-kawannya dan kebingungan mau ngumpet dimana.

Lalu dia memutuskan lari ke taman komplek. Dia berniat sembunyi di rumah-rumahan perosotan. Tak mengira kalau ada seseorang disana. Tapi Nana terlanjur masuk dan tidak ada waktu buat cari tempat sembunyi yang lain.

"Kamu siapa-"

Nana menempatkan telunjuknya dibibir. Berbisik-bisik. "Sstt! Aku lagi sembunyi, kamu jangan berisik."

Gadis kecil itu pun menurut saja. Tapi tatapannya sangat tak nyaman pada Nana. Dia menggeser duduknya agak jauh, ketika Nana justru makin mepet saja.

Rumah-rumahan kecil nan sempit itu diisi dua anak manusia didalamnya.

Nana bukan anak yang betah diam. Jadi gatal rasanya kalau tidak ngoceh. "Nama kamu siapa?" kala itu dia bertanya sambil mencuri lirik pada gambaran di pangkuan si gadis.

"Winter."

Nana tersenyum lebar. Aneh darimananya? Namanya bagus kok. Rasanya Nana justru senang sekali bisa mendengar gadis pendiam itu mengucap kata. Walau hanya sepotong dan terkesan jutek.

"Aku Nana." Nana memeluk lutut ke dada. Sementara Winter bersila. Masih lanjut memoleskan ujung pensil warna pada permukaan kertas berukuran A4 dengan telaten. "Kamu suka gambar kah?"

"Iya."

"Bagus banget gambarnya." Pujian tulus itu membuat kepala si gadis yang semula tertunduk, seketika terangkat. Seolah itu kali pertama seseorang memujinya.

Lalu, sesederhana itu saja. Gadis yang tak pernah Nana lihat menampilkan ekspresi apapun selain datar--tersenyum.

"Terimakasih."

I Wuf You  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang