Ketika Naresh terjaga dikasurnya, dia nggak tahu persis jam berapa itu. Tapi sesuatu yang berhasil bikin dia bangkit gelagapan dan turun dari kasur adalah suara-suara dari kamar mandi.
Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, Naresh berjalan ke kamar mandi hanya untuk mendapati Winter membungkuk didepan wastafel.
Naresh tersentak, matanya membelalak lebar. Buru-buru dia mendekat, mengumpulkan rambutnya jadi satu kebelakang. Sembari mengurut tengkuk sang istri.
Winter berdehem sambil menepuk-nepuk dadanya. Mencoba menstabilkan pernapasan dengan mata berair.
"Udah?" Naresh menyeka sudut bibirnya. Seraya itu dia membuka keran, membiarkan aliran air menyapu bersih muntahannya. "Kenapa, Yang?"
Winter tak menjawab, dia menyingkirkan tangan Naresh lalu mencepol rambutnya ke atas. Lanjut mencuci muka seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Usai keran dimatikan, Winter berdiri menghadap ke Naresh. Wajahnya sedikit pucat, basah dan kelihatan lemas. Dia masih berusaha mengatur napas. Tangan Naresh terulur meraba perut Winter dibalik baju. "Kemarin makan apa, hm?"
"Ramen."
Naresh berdecak, gerakannya mengelus perut berhenti digantikan sentilan pelan di dahi. "Aww!"
"Ngemie terus. Dibilangin makan yang sehat sehat aja. Udah tau lagi musimnya sakit malah jajan sembarangan."
Winter mencebik. Lalu menatap Naresh dengan wajah melas. "Kan pengen."
"Ramennya ada kacangnya?"
Winter meringis, lalu menggeleng pelan. "Nggak.. tau?"
Wajah Naresh berubah jadi sangat datar.
Lagi, sebuah sentilan mendarat di dahinya. Kali ini cukup keras bikin Winter merengek kesal. "Sakit!" Tapi setelah itu Naresh mengusap dahinya sambil di tiup-tiup perlahan. "Kalau beli makanan tuh diliat dulu makanya. Jangan asal pesan pesan seenaknya gitu."
"Ya maaf, namanya juga pengen." Winter menciut saat tatapan Naresh berubah dingin. Tapi bukan Winter namanya kalau mengalah begitu saja tanpa membela diri.
"Lagian ramennya enak tau, kapan-kapan kita ke resto nya deh! Terus itu tuh ya aku lagi dapet voucher, rugi kalau nggak digunain."
"Bisa-bisanya masih ngeles?" Naresh kacak pinggang tak habis pikir.
"Ini bukan ngeles, tapi aku ngomong yang sebenarnya." Winter masih belum menyerah. "Kamu belum nyobain, sih. Coba kalau udah, pasti ketagihan."
Naresh merotasi bola mata, lantas sepersekian detik kemudian Winter memekik dan berusaha meloloskan diri saat lehernya dipiting oleh Naresh menggunakan lengan.
*
"Perutmu udah enakan, Yang?"
Naresh bertanya sembari memasang jam tangan di pergelangan kiri. Menatap lurus ke arah istrinya yang kini lagi memanggang roti di toaster. Berdiri tak jauh dari tempatnya.
Winter mengangkat bahu ringan. "Biasa aja kok."
Responnya yang terkesan santai bikin Naresh bangkit dari kursi meja makan lalu mendekat. Dia berdiri beberapa jengkal dibelakang punggungnya. Naresh sedikit merunduk hingga wajahnya kini berada di dekat pundak Winter. "Yakin? Gak perlu ke dokter dulu?"
Winter menoleh, dia tak perlu lagi berjinjit untuk bisa mengecup rahang Naresh yang kini berada tepat disebelahnya. "Aku oke, Babe. Nggak usah khawatir gitu, deh."
Naresh melipat jarak dengan merapatkan dadanya ke punggung Winter. Dagunya di taruh di pundak istrinya dengan kedua lengan melingkari perut Winter, memeluknya mesra dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wuf You ✓
Romance[ Book II ] Kelanjutan cerita Nareshwara dan Winter Cassandra dari book sebelumnya yang berjudul Winter.