37 | i wuf u

1.4K 170 38
                                    

heaven-roy kim, Ez kim. ((lagunya ngena bgt sama chapter ini))

*

"Lagi ngapain?"

Malam tiba kala tetesan hujan jatuh menyapa bumi, mencipta aroma khas tanah kering yang tersapu hujan, Naresh berdiam menatap istrinya yang sibuk menulis sesuatu diatas sebuah buku bersampul cokelat.

Baru mendongak dan tersenyum kala melihatnya berdiri didekatnya. "Oh, ini lagi nulis resep."

"Resep apaan?" Naresh menempatkan satu telapak tangannya dibahu kursi yang Winter duduki, sementara yang satu lagi bertumpu diatas meja marmer. Tubuhnya sedikit condong, mengamati sesuatu yang Winter tulis. "Perasaan dari kapan hari nggak kelar-kelar nulis itunya."

"Banyak soalnya." Winter menjeda sejenak, buat menatap wajah Naresh sambil tersenyum. "Ini semua hal-hal tentang Aran. Kebiasaan dia, makanan kesukaannya dan apa aja yang Aran suka dan nggak suka. Semuanya aku tulis disini."

Naresh mengerutkan alis bingung. "Terus? Biar apa kamu tulis disitu?"

"Ya.. pengen aja sih. Siapa tau suatu saat nanti butuh." Winter nyengir, tapi habis itu dia mencoret lengan Naresh dengan pulpen. "Sebel, deh."

"Kamu tuh ya, jangan diisengin mulu dong anaknya. Udah tau Aran risihan, malah di uyel-uyel, dicium paksa, di gelendotin mulu. Dia kan jadi kesel."

Naresh tergelak. Lalu menarik kursi lain buat ikut duduk di sebelah Winter. "Nggak tahan soalnya, gemes Yang."

"Aku aja kalau mau cium pipi minta izin dulu sama dia. Dia nggak suka skin ship, apalagi yang berlebihan. Aran bukan tipe anak clingy yang suka dipeluk apalagi dicium cium, Naresh."

"Tau, makanya sengaja aku isengin dia." Winter geleng-geleng mendengarnya lalu lanjut nulis lagi. "Soalnya lucu liat dia merengut gitu. Apalagi kalau udah manyun-manyun sambil ngomel. Kayak kamu."

"Ohhh, jadi itu alasan kamu ngisengin aku terus selama belasan tahun?"

Naresh nyengir dirangkulnya bahu Winter mesra. "Nagih banget soalnya."

Winter meneruskan aktivitasnya. Membiarkan Naresh mengusakkan kepalanya ke kepala Winter seperti kucing yang manja pada tuannya.

Mereka tak saling bicara, membiarkan suara hujan diluar sana mengambil alih kesenyapan mereka. Juga lantunan lagu yang mengalun lembut dari speaker ruang tengah.

"Aran dijemput kapan, Na?"

"Nanti, masih hujan."

"Kangen Aran.."

"Yailah, Cassie. Baru juga beberapa jam dia main disana." Naresh terkekeh. "Aran kelihatan happy banget karena ada Ata sama Ken."

"Aran bakal ngerepotin Bunda nggak ya."

"Kalau bertingkah sih kayaknya nggak. Dia kan anaknya anteng. Tapi paling Bunda cuma dibikin puyeng sama pertanyaan pertanyaan randomnya Aran."

Winter terkekeh. "Iya, sumpah ya! Kayak sesuatu yang tiba-tiba nongol di otaknya tuh langsung ditanyain spontan gitu. Ma anu itu apa, Ma ini tuh dari apa, Ma anu kok bisa gini sih kenapa? Duh, semoga bunda nggak capek ngeladenin bawelnya Aran."

Naresh mendengarkannya berceloteh dengan riang. Selalu. Winter selalu seantusias itu membicarakan Aran. Matanya berbinar bahagia dengan wajah yang kelihatan sangat ekspresif kala bercerita.

Sampai detik ini, Naresh nggak yakin dia bisa menjawab jika disuruh menggambarkan Winter dihidupnya hanya dengan satu kata saja. Sebab ada banyak kata yang mewakili dirinya. Dan itu tak cukup jika hanya dengan satu.

I Wuf You  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang