Naresh menatap ling-lung ke sekitarnya. Dia terbangun dengan nafas berkejaran. Tubuhnya praktis banjir keringat. Ah, dia masih berada di kamar rupanya.
"Cassie,"
Bibirnya terkatup, batal meneruskan seruan kala sadar sosok yang biasa menempati sisi kasurnya--kini tidak ada. Naresh meraba sisi kasurnya yang kini terasa dingin.
Sudah 15 hari terlewat. Namun Winter tak kunjung siuman dari komanya. Ya. Winter dinyatakan koma selepas kecelakaan kala itu.
Naresh masih belum percaya semua ini nyata. Dia berharap hanya mimpi buruk yang akan sirna saat dia bangun. Tapi Naresh kalah telak ditampar kenyataan.
Tubuhnya semakin kurus semakin hari. Belasan hari dia lalui dalam kehampaan. Naresh seperti ikut kehilangan jiwanya.
Persis raga tak bernyawa.
Wajahnya memucat, sinar wajahnya meredup. Segalanya porak-poranda dalam waktu singkat.
Tak ada satu haripun Naresh lewatkan tanpa mengunjungi Winter dirumah sakit, ketika orang-orang pergi, Naresh menolak pulang, Dia terus menetap disana. Menunggu dan terus menunggu. Dia takut saat Winter membuka mata, dirinya tak ada disana. Naresh ingin jadi orang pertama yang Winter lihat saat terbangun nanti.
"Bangun yuk sayang, jangan tidur terus, kamu nggak capek apa diem begitu?"
Naresh bergeming dalam keheningan. Gurat lelah tergambar jelas diwajahnya. Namun Naresh tak menyerah untuk menunggu.
Naresh meraih tangannya yang terbebas dari selang infus. Menggenggamnya perlahan. Mencoba membagi kehangatan tangannya pada tangan sang istri yang kini terasa dingin dan ringkih.
Berharap Winter akan segera membuka matanya. Berbicara padanya kembali. Tersenyum kembali, dan mengatakan bahwa dirinya telah baik-baik saja. Agar setidaknya Naresh yakin, penantiannya tak berujung sia-sia.
Namun, sama seperti hari-hari sebelumnya. Hanya suara mesin pendeteksi detak jantung lah yang menyambutnya.
Naresh telah mengusahakan segalanya. Memberikan perawatan terbaik agar kondisi Winter pulih dengan segera. Naresh sempat nyaris kehilangan akal sehatnya saat Winter berada dalam masa kritis waktu itu.
Entah apa yang bakal terjadi jika Winter tak sanggup melewatinya dan pergi. Naresh mungkin akan betulan gila.
Sampai hari ini ia masih setia terbaring di ranjang putihnya dengan wajah pucat bersama alat-alat medis penopang hidup yang melekat ditubuhnya.
"Aku pengen ngobrol lagi sama kamu. Kayak biasanya dulu. Masa tiap hari kesini aku doang yang cerita, kamunya diem." Naresh tak pernah bosan mengajaknya bicara kala berkunjung.
"Kangen aku, Kes." Naresh tersenyum sendu. "Kangen banget."
"Lebay? Iya. Biarin. Aku emang lebay dari dulu. Cengeng juga, gak kayak kamu yang super pemberani dan keren. Udah aku wakilin tuh, kalau kamu bangun pasti bakal langsung ngomong gitu, kan?"
Sebab, mungkin memang hanya itu yang bisa ia lakukan. Menghibur diri sendiri.
"Siapa bilang aku udah wujudin semua keinginan kamu. Masih banyak tuh wish-list kamu yang belum aku kabulin. Banyak banget malah." Naresh tersenyum, namun matanya memanas. "Tolong, izinin aku wujudin itu dulu ya."
"Katamu pengen nanam bunga krisan didepan rumah, kan? Nanti kita tanam yang banyak. Kita rawat bareng-bareng. Kita bakal jalan-jalan juga, kemanapun yang kamu mau."
"Beli makanan kesukaan kamu juga. Pergi ke tempat-tempat yang kamu pengen. Ah, kita juga belum ngajakin Aran nerbangin lampion loh, Cassie. Kamu gak lupa, kan? Dia pasti seneng banget kalau kita ajakin kesana. Kita udah janji buat pergi bertiga waktu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wuf You ✓
Romance[ Book II ] Kelanjutan cerita Nareshwara dan Winter Cassandra dari book sebelumnya yang berjudul Winter.