1

53.5K 2.3K 270
                                    

Aku menatap langit biru diatas kamar tidurku menikmati waktu siang. Namaku Othello Pranaja Zayan orang bilang aku orang yang dingin, irit berbicara dan minim ekspresi.

"Aku benci dengan orang-orang yang lemah," monologku.

Aku tiduran diatas atap kamar menikmati semilir angin siang hari walaupun cuaca sedikit mendung sepertinya akan hujan sebentar lagi.

"Ello!" suara bunda terdengar.

Aku membuka mataku dan turun dari atap kamar untuk menghampiri bunda daripada nanti kena amukan darinya karena mengabaikan panggilan dia.

Aku melihat bunda berkacak pinggang menatapku kesal tapi aku hanya tersenyum tipis saja. Aku mendekat kearah bunda dan memeluknya sangat erat.

"Abang bosan bun," ucapku.

"Adikmu menunggumu lho," ucap Bunda.

Rianti Wijaya ibuku berusia 38 tahun. Ibu terbaik sepanjang masa.

"Tadi izin tidur siang lho sama abang," ucapku.

"Tidak bisa tidur katanya mau peluk abang dulu," ucap Rianti.

"Aku ke kamar adek dulu ya bun," ucapku.

"Makan siang ya, abang kan belum makan," ucap Rianti.

"Iya aku makan dulu," ucapku.

Aku mengikuti langkah kaki Rianti ke meja makan menyantap makan siang buatan chef Rianti yang paling enak. Selesai makan aku menghampiri kamar adikku.

"Abang!" panggil adikku.

Rasendria Atala Zayan adikku berusia 13 tahun berbeda 4 tahun denganku, dia sosok adik yang pengertian, penggemar budaya jepang, dan kadang manja padaku. Dia satu-satunya sering meniru gaya berpakaianku bisa dikatakan Rasen itu tomboy.

"Bang maraton anime yuk!" ajak Rasen.

"Maraton anime baru?" tanyaku.

"Anime baru spy x family judulnya dari sinopsis sih keren," ucap Rasen.

"Nonton dua episode saja," ucapku.

"Sampai habis season satu ya!" bujuk Rasen.

"Masalahnya abang sudah baca komik itu," ucapku.

Rasen menatapku datar dan aku berlalu pergi begitu saja dari kamar Rasen malas berdebat dengan adikku lagipula Rasen memang begitu.

Di kamarku memang banyak koleksi komik, novel, buku-buku pengetahuan dan sebagainya. Hobiku memang membaca di saat seggang.

Aku membaca buku tentang transmigrasi jiwa seseorang ke tubuh orang lain. Menurutku ini suatu hal yang paling tidak logis. Maksudnya memang ada semacam alat untuk memindahkan jiwa orang lain ke tubuh orang lain begitu.

"Idih abang gaya bener baca buku transmigrasi!" pekik Rasen.

"Tidur Rasen," ucapku datar.

"Bacain tuh buku transmigrasi nanti adek tidur," ucap Rasen.

"Ya sudah sini," ucapku.

Rasen tersenyum lebar dan langsung tiduran di kasurku begitu saja. Aku berdiri ikut tiduran di samping Rasen membaca buku transmigrasi untuk Rasen.

"Begitulah intinya transmigrasi seperti itu," ucapku.

Aku merasakan bahuku berat saat kulihat ternyata Rasen tertidur sambil memeluk leherku sangat erat. Aku membiarkan tindakan Rasen memang beginilah kebiasaanku bersama Rasen.

"Abang, jangan tinggalin adek," racau Rasen.

"Abang disini tidak akan pergi kemanapun," ucapku.

Rasen semakin bersembunyi di pundakku. Aku memang mengharapkan kehadiran seorang adik sejak usia 2 tahun. Aku iri saja dengan kakak sepupuku yang bisa bermain bersama adik dia. Ayah dan bunda baru bisa mengabulkan keinginanku saat usiaku 4 tahun. Dan aku sangat menyayangi adikku.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang