15

12.2K 934 13
                                    

Sadar dari pingsan aku berada di kamarku. Mungkin kondisiku baik-baik saja tapi ada hal yang aneh menurutku. Aku bangun ingin memastikan sesuatu dan aku bercermin di depan kaca disana terlihat wajahku yang sedikit cokelat dan rambut hitamku. Aku kembali ke tubuh asliku bukan tubuh putih mulus yang merupakan tubuh Aditya.

"Adit kemana?" heranku.

Aku menyadari tidak ada keberadaan Aditya sama sekali. Membuka pintu kamarku hanya ada Rasen yang sibuk menonton tv. Aku menepuk pundak Rasen dia menatapku sejenak entah kenapa firasatku buruk tentang kondisi Aditya.

"Kakak sudah sadar ya. Abang tadi dibawa sama ayah dan bunda ke rumah sakit," ucap Rasen melihat kearahku.

"Aku Ello dek," ucapku.

"Eh?!" kaget Rasen.

"Kita ke rumah sakit saja tentang penjelasannya nanti saja," ucapku.

Aku kembali ke kamar mengambil jaketku. Kami berdua pergi ke rumah sakit yang akan diberitahu oleh Oliver kepada Rasen. Tanda tanya besar bersarang di kepalaku kenapa setelah rekaman berakhir aku dan Aditya jatuh pingsan bersamaan. Kalau tubuh Aditya terjatuh aku memaklumi itu semua tapi kenapa tubuhku ikut tidak sadarkan diri juga.

Taksi yang kami tumpangi dilingkupi dalam keheningan total aku yang masih memikirkan segala macam kemungkinan di dalam otakku sementara Rasen membiarkan tindakanku. Rasen memukul wajahku menyadarkanku dari lamunanku.

"Apa dek?" tanyaku.

"Kita sudah sampai bang melamun mulu sih!" pekik Rasen.

"Oh iya," ucapku.

Aku membayar ongkos taksi dan memegang tangan kanan Rasen dengan erat. Kami berdua masuk ke rumah sakit sebelum itu Rasen menanyakan tentang ruangan dimana Aditya dirawat.

"Hey kau!" panggil seseorang.

Aku tidak menghiraukan panggilan dari orang tersebut. Aku hafal kalau itu suara dari kakak pertama Aditya yaitu Aprian. Dia pasti akan mengganggu Aditya lagi dan aku tidak akan membiarkannya. Aditya adik laki-lakiku tidak boleh ada seorangpun menyakiti dia sama sekali.

"Bocah sombong!" kesal Aprian.

Aprian mencengkram pundakku dengan cepat aku melepaskan tindakan Aprian yang sangat kasar. Aku memeluk tubuh Rasen melindunginya dari sosok kejam Aprian. Rasen memberontak tapi aku tidak peduli tentang itu.

"Kau tahu keberadaan bocah pembawa sial itu?" tanya Aprian.

"Aku tidak mengenal orang yang kau sebutkan tuan," ucapku datar.

"Aku tidak pikun ya. Kau orang yang waktu itu berkelahi dengan adik keduaku!" kesal Aprian.

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu tuan?" tanyaku.

"Tidak ada waktu untuk membuang waktu demi bocah songong sepertimu," ucap Aprian sarkas.

"Aditya Ello Pratama kau anggap apa?" tanyaku tidak peduli dengan kepergian Aprian.

Aprian terdiam dari langkahnya dia menatapku tajam. Aku tidak takut akan hal itu. Aprian menarik kerah bajuku dan eskpresi memerah padam terpampang jelas.

"Tidak perlu membawa nama Pratama dari anak pembawa sial tersebut!" kesal Aprian.

"Aditya your little brother," ucapku.

"Dia bukan adikku. Adikku hanya tiga bukan empat!" protes Aprian.

"Kau lebih mengakui anak pungut dibandingkan adik kandungmu sendiri heh!" ledekku.

"Adik baruku lebih baik dibandingkan dia!" pekik Aprian.

"Aku akan melindungi Aditya Ello Pratama yang telah kalian buang itu. Apabila ada fakta yang terungkap di masa depan jangan harap kalian bisa melihat Aditya!" tegasku.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang