Taburan bintang malam dan suara takbir menggema di setiap sudut. Besok hari raya namun entah kenapa bulan ini terasa berat bagiku.
Aku menikmati saja hembusan angin malam. Firasat mengenai aksi pembantaian Catra membuatku sedikit khawatir. Aku sekarang berdiri diatas jendela kamarku sambil duduk tidak ada rasa takut bagiku padahal kamarku di lantai dua rumahku.
"Oi de turun!" pekik Rin.
"Aku hanya menginginkan angin malam menerpa wajahku kak," ujarku.
"Nanti kau jatuh lho. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa," ujar Rin.
"Beberapa bulan lalu aku hampir mati saja biasa saja. Aku tidak merasa takut akan kematian sama sekali kak," ujarku santai.
"Kau jangan mengatakan kematian. Hidupmu masih panjang. Kehadiranku disini sebagai pelengkap kebahagiaan keluarga," ujar Rin.
"Feelingku buruk kak. Aku memang seorang muslim tapi selama ini aku sering melakukan larangan agama," ujarku.
"Seorang pendosa yang bertobat lebih baik di mata sang pencipta dibandingkan seorang yang merasa dirinya paling suci," ujar Rin.
"Kakak pernah melanggar aturan agama?" tanyaku.
"Pernah. Aku waktu itu masuk ke klub malam karena ajakan temanku. Disana aku meminum satu botol anggur merah sendirian," ujar Rin.
"Anggur merah kadar alkoholnya cukup tinggi. Aku dulu merasakan satu gelas saja tidak sanggup," ujarku.
"Setidaknya kehidupanmu lebih beruntung dibandingkan diriku El. Aku sering menyalahkan takdir tentang jalan hidupku. Kenapa aku tidak mengetahui dimana keberadaan kedua orangtuaku. Dan berbagai hal negatif mengenai kedua orangtua kita," ujar Rin.
"Hidup memang terkadang kejam kak," ujarku.
"Kisah mengenai Aditya saja membuktikan takdir tidak bisa ditolak oleh siapapun," ujar Rin.
"Aditya mencoba bunuh diri dikarenakan tidak tahan akan perlakuan Satria dan keluarganya," ujarku.
"Motif penculikannya atas rasa dendam saja. Kurasa tidak berhubungan dengan Aditya sama sekali," heran Rin.
"Seseorang yang telah diliputi dendam tidak memikirkan hal tersebut. Aditya diperlakukan seperti samsak hidup saja disana. Setiap mereka kesal maka akan dilampiaskan kepada Aditya," ujarku geram.
"Seorang anak tidak ada hubungannya mengenai masalah orangtuanya. Bayi suci tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa tapi itu kehendak sang pencipta," ujar Rin.
"Menurut penyelidikan terakhir sebenarnya mami diracun setelah melahirkan Aditya," ujarku semakin kesal.
"Tega sekali orang tersebut," ujar Rin sedih.
"Papi yakin bahwa pelakunya Satria. Dia pasti sangat terobsensi terhadap mami. Wajar sih mami sangat cantik sekali," ujarku.
"Lantas kenapa kau menyebarkan video mengenai seorang pria yang bercumbu dengan pria lain di internet bahkan memakai akun palsu?" tanya Rin kebingungan.
"Pria yang lebih kecil itu adalah putra pertama Satria," jawabku.
"Hey dia tidak ada hubungan sama sekali mengenai ini semua!" protes Rin.
"Memang tidak ada." Aku menutup mataku merasakan rasa nyaman ini. "Aprian tidak mau diajak kerjasama untuk menjatuhkan Satria," ujarku.
"Kasihan dia de," ujar Rin.
"AWAS!" teriakku.
Aku mendorong tubuh Rin ke lantai kamar. Suara ringisan Rin tidak ada pedulikan sama sekali. Karena setelah tindakanku ada suara tembakan menembus jendela kamarku. Tembakan itu terus berlanjut aku merasakan sosok Rin memeluk tubuhku sangat erat. Rin pasti syok akan ini semua wajar selama hidupnya tidak ada suara tembakan pistol seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah tentang keluarga saja tidak lebih. Othello Pranaja Zayan pemuda berwajah tegas, bersifat dingin, datar, minim ekspresi, benci pengkhianatan, baik sama orang yang disayang, dan tidak memandang bulu saat marah...