32

4.5K 292 2
                                    

Di belahan negara lain ada sosok pria dewasa tengah menatap dalam diam wajah damai sang anak dalam tidurnya. Dia Catra duda beranak satu sang pemimpin perusahaan Zayan. Catra membawa pergi anaknya dari negara kelahirannya karena malas berurusan dengan musuh.

Catra menghampiri Aditya dia tersenyum menatap wajah polos Aditya. Wajah polos yang penuh trauma akibat perbuatan musuhnya. Aditya tengah berjuang keras demi kesembuhan penyakit yang dia derita.

"Sebentar lagi kamu sembuh nak," ujar Catra mengelus pipi kiri Aditya.

"Hm papi," gumam Aditya.

Catra yang tidak tahan akan wajah menggemaskan putranya memeluk erat tubuh kecil anaknya. Aditya tidak sekurus dulu dia bahkan sedikit berisi sekarang karena Catra terus saja memberi dia makan.

"Putra kesayanganku. Harta berharga yang ditinggalkan belahan jiwaku," ujar Catra.

Aditya telah berada di dekatnya. Catra terpukul setelah kehilangan istrinya setelah kelahiran Aditya. Bahkan dulu berpikir anaknya juga meninggal namun ternyata salah Aditya diculik oleh musuh. Mental dan fisik putranya dirusak bahkan Aditya sering menangis saat malam hari karena rasa traumanya membekas dalam ingatan dia.

"Takut jangan pukul aku," lirih Aditya.

"Tidak akan ada yang memukulmu nak. Ada papi disini untuk menjagamu," ujar Catra.

Kata sederhana itu membuat Aditya kembali tenang. Catra akan membalas semua perbuatan buruk musuh dia.

"Aku akan menghancurkan secara perlahan-lahan Satria. Dimulai dari putra sulungmu," seringai Catra.

Cara Catra cukup kejam tapi kemarahan dia tidak dibendung mendengar rentetan ucapan dokter. Dokter saat pertama kali memeriksa Aditya mengatakan bahwa Aditya kekurangan gizi, ada banyak bekas kekerasan serta mental dia juga terganggu.

Catra memilih tidur bersama Aditya. Masalah balas dendam nanti dia pikirkan lagi. Terpenting sekarang Aditya sembuh dulu.

Di negara Indonesia aku memutarkan pulpen yang kupegang. Catra dan Aditya pergi ke Milan Italia. Catra melarangku terlibat balas dendam dia terhadap Satria. Aku tidak menurut lagipula setengah rencanaku telah berjalan. Dimulai dari Aldo yang menjadi kaki tanganku mengawasi Satria. Dan sekarang targetku Aprian untuk menjatuhkan mental terus-menerus. Sekarang bahkan aku berada di tempat dimana Adrian menempuh pendidikan.

Aku menunggu kedatangan Adrian. Tak lama kulihat siluet Adrian bersama teman-temannya. Aku menyeringai dan mendekati dia. Adrian nampak terkejut akan kehadiranku.

"Kita bicara empat mata," ujarku.

"Baiklah," ujar Adrian.

Aku baru sadar ternyata tinggiku beda dengan remaja pada umumnya. Di usiaku yang sebentar lagi 18 tahun tinggiku hampir menyentuh 190 cm. Bahkan tinggi Adrian saja lebih pendek daripada diriku.

Di taman belakang kampus. Aku menyerahkan foto sesuai yang Adrian mau. Aku ingin dia senang dulu sebelum bersenang-senang dengan mempermainkan gejolak amarah dia.

"Dimana keberadaan Aditya sekarang?" tanya Adrian setelah puas menatap foto Aditya.

"Aku akan memberitahu asal kau menurut segala ucapanku," ujarku melipat kedua tanganku di dada.

"Kenapa kau tidak bisa memberitahu saja dengan mudah?!" kesal Adrian.

"Pertama aku tidak mau adikku terluka dan kedua kau bagian dari keluarga Pratama," ujarku.

"Aku sejak dulu tidak pernah menyakiti Aditya," ujar Adrian.

"Aku tahu. Makanya hanya kau yang kuberi foto terbaru Aditya," ujarku.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang