22

8.5K 598 4
                                    

Di bandara internasional Soekarno Hatta ada sepasang ayah dan anak saling pandang. Aditya sebenarnya tidak mau meninggalkan tempat kelahirannya namun Catra tidak mendengarkan pendapat Aditya sama sekali.

"Pih kita bisa berobat di Indonesia saja," bujuk Aditya.

"Keputusanku tidak bisa dibantah Aditya!" tegas Catra.

"Pih kau pemaksa sekali," celetuk Rasen.

"Terserah," acuh Catra.

"Kalian hubungi kami apabila telah tiba di Amsterdam," ucap Oliver.

"Ya," ucap Catra.

"Kakak!" panggil Rasen.

"Ada apa, Rasen?" tanya Aditya.

"Berjuang melawan penyakitmu ya," ucap Rasen.

"Tentu," ucap Aditya sambil tersenyum.

"Kami berangkat," ucap Catra.

Catra memegang tangan kanan Aditya yang melambaikan tangan kearah Oliver dan Rasen. Dari kejauhan Oliver bisa melihat Catra berhenti berjalan dan langsung menggendong tubuh Aditya. Oliver tersenyum melihat tawa dari Catra.

"Papi sering ketawa ya setelah kehadiran kakak," ucap Rasen.

"Benar nak. Dulu papi hanya bisa tertawa lepas apabila bersama mendiang istrinya dan juga oma mu," ucap Oliver.

"Berarti kakak sangat berharga untuk papi," ucap Rasen.

"Sangat dia pasti akan melakukan aksi balas dendam terhadap keluarga Pratama," ucap Oliver.

"Dendam saja bosan aku mendengarnya," keluh Rasen.

"Suatu hari nanti kau akan mengerti nak," ucap Oliver.

Oliver mengelus rambut Rasen yang tengah kebingungan maksud dari Oliver. Sementara di sekolah aku duduk di kursi mendengar setiap rentetan kalimat dari guru mata pelajaran biologi. Aku tidak bisa mengantarkan Aditya dan Catra ke bandara karena sebentar lagi akan ada ujian semester menantiku.

"Maksud papi dengan masa lalu apa sih?" batinku kebingungan.

Kemarin malam Catra dan Aditya menginap di rumahku. Tengah malam aku terbangun dari tidur karena merasa kehausan, dan saat kembali ke kamarku aku mendengar Catra membicarakan tentang masa lalu.

"Papi kehidupannya banyak misteri buat aku bingung," batinku.

"Othello Pranaja Zayan!" panggil guru biologi bernama Astuti.

"Kenapa memanggil namaku?" tanyaku.

"Kau ini memang keponakan pemilik sekolah ini. Tapi peraturan sekolah tetap berlaku untukmu tidak ada hak istimewa sama sekali!" tegas Astuti.

"Aku mengerti," ucapku.

"Lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali!" tegas Astuti.

"Baik bu," ucapku.

Aku keluar kelas untuk menjalankan hukuman dari Astuti. Identitasku sebagai salah satu pewaris keluarga Zayan telah terungkap. Banyak siswa atau siswi mendekatiku karena mengetahui tentang silsilah keluargaku dan aku tidak menerima kehadiran mereka.

Aku berlari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali setelah selesai menuju kantin untuk beristirahat. Di kantin aku menyadari ada sosok Aldo Pratama. Dari wajahnya dia tertekan akan suatu hal. Aku sedikit belajar tentang psikolog dari Cakra. Dulu Cakra mengambil jurusan psikologi anak hanya demi kegabutan dia semata.

Aku memesan dua mie ayam dan dua jus di ibu kantin. Aku sengaja menghampiri Aldo untuk mengetahui keadaan dia. Aku peduli dengan dia sama sekali tidak. Ingatan mengenai Aldo memukul, menampar dan menendang Aditya masih kuingat jelas.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang