33- Untuk kau dan demi kau

46 3 0
                                    

Ezra terus mengarahkan senjatanya ke Naren, suaranya menjadi berat, rasa egoisnya berubah menjadi hasrat membunuh, kebencian dan kemarahan bercampur dan mulai menguasai dirinya.

"Musnahlah agar kau bisa minta maaf pada semua orang yang kau buat mati karena keegoisanmu, Naren"

Naren bergetar melihat Ezra menodongkan senjata, walau rasa membunuhnya menguat, tapi dia belum siap... dia perlu mengumpulkan keberaniannya, dia belum pernah sekalipun membunuh orang.

Flashback...

"Hah... Berantem lagi?" Indra menghela nafas lelah, dia bahkan belum sempat melepas dasinya setelah pulang dari kantor, melihat adiknya yang berwajah penuh dengan lebam sembari membuang pandangan darinya.

"Berantemnya di gang deket sekolahnya lagi, bilangin gih, kalau aku yang bilang dianya ngeyel." Eza yang duduk di ruang keluarga sedang menonton televisi membelakangi mereka sambil memakan es krim menambahkan.

"Jangan ikut campur, Za!"
"Berisik, Zra!!"

Seruan Eza memenuhi seluruh ruangan, membuat Ezra tidak berkutik, kepalanya sakit mendengar suara berisik. Sedangkan Indra hanya menghela nafas sabar, dia juga menyadari, salah satu lebam merah besar di pipi Ezra, sepertinya itu akibat dari tamparan Eza...

Indra kemudian duduk di sebelah Ezra, mereka berdua tengah duduk di meja bar menghadap dapur yang kosong, sepertinya berniat untuk deeptalk.

"Aku bikinin dessert, ya." Eza berdiri dari kursinya berjalan menuju dapur.

"Ah, maaf ngerepotin." Ucap Indra.
"Sans,"

"Jadi, kenapa berantem? Alhamdulillah aja gak pas di sekolah, kalau iya? Kau bisa terkena point, dan berpengaruh kepada akademikmu." Indra berucap sambil menikmati es krim yang dibuat Eza.

Ezra menatap mangkuk es krim dihadapannya dengan tatapan sebal, "Apa sih, nilaiku 100 terus, gak percaya lihat aja di test tube! Kau ingin itu-"

(Test tube: benda menyerupai tabung yang didalamnya berisi hasil ujian sekolah Ezra)

"Aku nggak peduli kau mau dapat 100 atau 0 sekalian." Masih sambil memakan es krim ke mulutnya, Indra menyela ucapan adiknya, tumben sekali? Padahal itu bukan gayanya.

"Yang penting akhlak, bangun relasi, pengalaman komunikasi, dan berusaha. Orang pemalu bisa mendapat nilai 100 atau bahkan diatasnya, namun didunia kerja mereka akan terhambat karena tak ada skill public speaking, mereka yang ingin membangun bisnis akan kesulitan untuk mendapatkan investor karena tak ada relasi. Orang dengan ranking terbawah di kelasnya bahkan bisa berkuliah di College bergengsi seperti Harvard ataupun Stanford."

"Namun, walau kau berbakat dalam keempat hal penting yang aku ucapkan tadi, itu akan musnah ketika kau menciptakan musuh. Musuhmu dapat merenggut orang-orang yang kau cintai."

"Pahami, Ezra." Ucap Indra dengan nada rendah.

Ezra terdiam, perasaannya tidak enak, biasanya jika Indra menceramahi, mudah baginya untuk memberontak dan kembali ke kamar, namun Indra punya sisi yang bahkan bisa menaklukkan Ezra sendiri.

"Tahu tidak tahu, ada yang tidak menyukai kita. Namun jangan menyakiti apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang, buat pikiranmu se-rasional mungkin. Karena mereka juga manusia." Indra tersenyum setelah berucap demikian.

Ezra berdengus sebal sambil menyuapkan es krim didepannya ke mulutnya, namun bukan rasa dingin nan manis yang dirasa, melainkan panas dan sakit.

"AKH! KAYAK CABE! EZA APA-APAAN?!!"

"Fitnah lebih kejam ketimbang pembunuhan." Eza berjalan santai menuju kamar dengan wajah tanpa dosa.

Indra terkekeh keheranan melihat tingkah kedua adiknya.

Prince Charming [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang