D e t i k s e b e l a s

442 36 0
                                    

"Gama Ibu mau minta tolong sama kamu untuk ngajarin Almira satu bulan ini buat olimpiade bulan depan sekalian kamu kan juga akan ada olimpiade kan, nah kalian berdua bisa belajar bareng," ujar bu Rina.

Gama yang duduk di ruang guru itu merasa kesal dengan permintaan gurunya.

"Harus saya Bu?" tawar Gama.

"Iya soalnya kan yang pernah ikut olimpiade ini kamu, cuma satu bulan kok Gama. Kamu mau ya?" bujuk bu Rina.

"Tapi saya juga kadang sibuk sama kegiatan saya, belum lagi masih mikir tentang olimpiade saya juga nanti Bu. Maaf Bu tapi saya tidak bisa untuk mengajar Almira kali ini, coba Ibu cari tutor yang lain aja karena kan bukan saya aja yang kemarin ikut olimpiade ini."

"Gama tolong sekali ini kamu mau ya? Karena hanya kamu yang bisa Ibu sangat mohon sekali sama kamu Gama. Apa kamu tidak ingin mengharumkan nama sekolah ini?"

Gama yang mendengar itu sungguh ingin berdecak keras tapi ia tahan karena tidak ingin berdebat lagi mau tidak mau Gama lebih baik menyetujui ini sisanya nanti biar dia yang urus.

"Terima kasih Gama, kamu sudah sangat membantu sekali dengan sekolah ini," ucap bu Rina lega karena Gama sudah menyetujui untuk menjadi tutor dari Almira.

"Tapi saya tidak bisa setiap hari untuk mengajar Almira, mungkin Ibu bisa tanyakan terlebih dahulu kepada saya waktu saya harus mengajar Almira."

"Kalau itu pasti, kamu tenang aja sekarang kamu boleh kembali ke kelas kamu."

Gama bangkit dari duduknya dan izin untuk pergi meninggalkan ruang guru.

***

Sudah pukul empat sore lebih dan sekarang Sastra masih menunggu Gama di parkiran sekolah. Apa Gama membohongi dirinya lagi dan meninggalkan dirinya sendirian di sekolah? Jika seperti itu lebih baik tadi Sastra memilih ikut dengan Tamara saja untuk pulang bersama.

Satu jam berlalu dari jam pulangnya Sastra tapi dia belum juga melihat Gama yang berada di parkiran. Mau menghubungi Gama pun ponselnya sudah mati karena dayanya sudah habis.

Jika Sastra lebih memilih pergi terlebih dahulu pun dia juga akan melihat Gama nanti yang akan sangat marah kepadanya, Sastra sungguh tidak ingin itu terjadi hubungannya dengan Gama baru saja ada tanda-tanda untuk mambaik dan dia tidak ingin gagal jika dia lebih memilih pulang sekarang dan membuat Gama menjadi marah kepadanya. Akhirnya Sastra lebih memilih menunggu Gama di parkiran sekolah.

Sedangkan disisi lain Gama sekarang sudah berada di luar sekolah dirinya tadi ternyata langsung diminta oleh bu Rina untuk mengajari Almira tentang olimpiade itu dan sekarang dirinya bersama dengan Almira di perpustakaan pusat kota.

"Gam ini caranya gimana ya? Kok bisa jawabannya gini?" tanya Almira dengan menunjukkan nomor soal yang tidak dia bisa.

Dengan cekatan Gama menjelaskan kepada Almira, hingga waktu sudah mulai petang akhirnya mereka memutuskan untuk pulang.

Gama mengantarkan Almira pulang ke rumahnya dan saat sampai di depan rumah gadis itu, Gama menjadi ingat jika dirinya tadi meminta Sastra untuk menunggu dirinya di parkiran.

Gama berdecak keras melihat jam sudah pukul enam lebih dan hari juga sudah mulai gelap. Apakah Sastra masih di sekolah atau sudah pulang? Tidak mungkin kan jika Sastra lebih memilih menunggu dirinya di parkiran hingga petang seperti ini kan? Tetapi terkadang Sastra itu sangat keras kepala.

"Ada apa Gam, kamu ada masalah?" tanya Almira.

"Gue boleh minta tolong sama lo buat cek Sastra udah di rumah atau belum," ucap Gama menatap Almira.

"Iya sebentar aku cek dulu," balas Almira dan pergi berlalu dari Gama.

Beberapa menit setelah itu Gama melihat Almira yang keluar dari rumah dan gadis itu sekarang sudah berjalan mendekati dirinya.

"Gama, Sastra kayaknya belum pulang aku udah cari ke seisi rumah gak ada dia," ucap Almira.

"Ck! Bodoh banget sih," dengus Gama dengan kesal.

"Kamu tadi ngomong sesuatu Gama?" tanya Almira memastikan dengan apa yang baru saja keluar dari mulut cowok itu.

"Enggak gue harus pergi dulu, gue tadi sempet bilang sama Sastra buat nunggu gue di parkiran sekolah tapi gue lupa dan malah ninggalin dia dan sekarang dia belum pulang, kayaknya dia masih di sekolahan."

"Ya ampun Sastra masih di sekolah? Gama kamu harus cepet jemput Sastra kamu tahu sendiri kan Sastra itu takut sendirian kalau malam hari gak ada temennya," ucap Almira dengan khawatir.

"Gue pamit dulu kalau gitu," ucap Gama dan mulai menstater motornya.

"Gama tunggu... maaf gara-gara kamu sama aku jadinya kamu lupa sama janji kamu dengan Sastra."

"Hm... bukan salah lo, ini salah gue yang teledor gak kasih kabar dulu sama Sastra."

"Gama tolong jemput Sastra dan bawa dia balik cepat ya aku khawatir banget dengan keadaannya sekarang."

Gama yang mendengar itu hanya menganggukkan kepalanya dan segera berlalu dari rumah itu menuju ke sekolahan.

***

"Sastra kamu bodoh banget sih, motor Gama aja udah gak ada ngapain kamu masih nunggu dia," gumam Sastra sendirian. Sekarang dirinya berada di halte sekolahan.

Tadi saat dia masih di parkiran ada satpam yang menyuruhnya untuk segera pulang karena hari yang mulai petang dan satpam itu juga mengatakan jika sudah tidak ada murid yang berada di sekolah.

Sastra masih duduk sendirian di halte yang lampunya remang-remang itu. Sungguh dirinya sangat takut sekarang karena jika dia keluar dimalam hari maka dia biasanya akan bersama dengan seseorang yang dia kenali.

Sastra mengeratkan tangannya untuk memeluk tubuhnya sendiri, hari sudah mulai malam dan tubuhnya dilingkupi oleh desiran angin yang kencang.

Ingin sekali dirinya menangis tapi apa itu akan sangat membantu dirinya? Tentu saja tidak, dia jadi teringat akan kata-kata papa dan mamanya untuk menjadi anak yang mandiri.

Sastra mulai melangkahkan kakinya menjauh dari halte lebih baik dia berjalan pulang karena uang sakunya juga sudah habis. Hari ini benar-benar sangat sial untuk Sastra.

Saat akan menyebarang jalan lagi-lagi Sastra tidak fokus dan menyebabkan dirinya terserempet sebuah motor dan membuat gadis itu terjatuh.

Sastra membersihkan tangannya yang kotor terkena tanah begitu juga dengan kakinya.

"Hei lo gakpapa?" tanya seseorang.

Sastra mengangkat wajahnya dan melihat ada laki-laki yang menatap dirinya.

"Loh... temannya Tamara kan?"

Lagi-lagi dia, entah mengapa Sastra selalu bertemu dengan laki-laki yang sebagai tetangga temannya itu. Apakah ini sebuah takdir atau apa?

***

Detik Sastra (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang