D e t i k t i g a p u l u h s e m b i l a n

302 24 0
                                    

Liburan semester akhirnya sudah berakhir dan hari ini adalah hari pertama semua murid si SMA 5 Pancasila masuk. Begitu juga dengan Sastra yang hari sudah bersiap-siap. Dia akan berangkat sendiri sekarang karena Damian kakaknya sudah berkuliah sekarang. Dan Damian sendiri lebih memilih kuliah di perguruan tinggi negeri impiannya yang harus jauh dari rumah. Sehingga, meninggalkan Sastra sendirian.

"Iya Kak. Aku akan hati-hati kok. Kakak semangat juga kuliahnya disana. Dan jangan macam-macam pokoknya hati-hati," ucap Sastra sembari mengapit ponselnya diantara bahu dan kepalanya.

Pagi ini Damian menelpon dirinya untuk sekadar menanyakan kabar dan memberi wejangan yang banyak selama laki-laki itu tidak berada disampingnya.

"Siap Kapten... Aku tutup dulu ya Kak ini mau berangkat ke sekolah. Bye!"

Setelah menutup panggillannya Sastra langsung mengambil tas dan segera menuruni tangga. Saat akan sudah sampai di ruang makan disana sudah ada Almira dan kedua orang tuanya. Mereka semua sedang bercerita hal yang menarik, mungkin saja.

"Selamat pagi Papa, Mama, dan Almira," ucap Sastra dan duduk di kursi meja makan. Dan ucapan Sastra tadi bagai angin lalu saja tidak ada yang menanggapi, padahal Sastra yakin jika mereka tadi mendengarkan sapaannya. Tetapi, Sastra mengingat pesan Damian untuk tidak mengindahkan hal sekecil apapun.

Sastra mulai mengambil piring dan akan mengambil nasi beserta sayur sebelum suara Nita mengintrupsinya.

"Tunggu Sastra! Siapa suruh kamu ambil makanan itu? Hari ini kamu makan sama lauk yang udah disiapkan sama Mirna di dapur. Sana kamu makan di dapur aja," celetuk Nita.

"Tapi kenapa Ma?" tanya Sastra protes.

"Kamu ini masih mending kita kasih makan. Kita udah berusaha tahan sama kamu Sastra karena Damian. Dan sekarang Damian sudah tidak ada di rumah ini jadi, kamu jangan berharap bisa hidup dengan penuh kemewahan," kali ini Revan yang berkata sembari menatap Sastra dengan sorot enggan. Sedangkan, Almira dia hanya berdiam diri sembari mengotak-atik ponselnya.

"Papa sama Mama. Nanti Gama akan segera datang," ucap Almira seolah memberi tahu kedua orang tuanya.

"Sastra cepat sana kamu ke dapur," ujar Nita dengan tajam.

Sastra merasa tersentak dengan ucapan sang mama. Dan Gama? Dia bakal kemari. Memangnya apa yang Sastra harapkan sudah empat bulan berlalu dan dia tidak pernah bertemu atau bertegur sapa dengan Gama. Kecuali saat berada di rumahnya. Tidak mau membuat masalah di pagi hari akhirnya Sastra memilih untuk ke dapur.

"Non Sastra. Kok kesini udah makan Non?" tanya Mirna saat melihat Sastra yang duduk di kursi makan di dapur.

"Belum Bi. Ini Sastra mau makan. Udah matang belum Bi masakannya?" tanya Sastra menatap Mirna.

"Non Sastra mau makan apa? Soalnya ini Bibi sedang masak buat Bibi sendiri sama Pak Ujang Non. Bukannya Bibi udah masak buat Non dan keluarga tadi di meja makan."

"Ah... Anu... Bi aku baru pingin makan makanan Bibi sama Pak ujang. Hehehe... Boleh ya Bi?"

"Aduh ya jelas boleh dong Non. Sini biar Bibi yang siapkan ya," ucap Mirna dan dia langsung mengisi makanan Sastra dengan makanan yang setiap hari dia makan.

"Makan yang banyak Non."

"Pasti. Masakan Bibi emang yang paling nikmat," celetuk Sastra.

Sedangkan Mirna hanya menatap hari Sastra yang sekarang sedang makan dengan tempe dan sayur lodeh. Sedangkan, di meja makan tadi Mirna sudah buatkan ayam goreng dan beberapa sambal ati enak. Tetapi, mengapa Sastra malah disuruh makan disini?

***

Gama menghentikan mobilnya di depan rumah Sastra. Lagi-lagi dia harus berurusan dengan Almira kembali. Gama rasanya sangat muak dengan kebohongan ini. Gama rindu sangat rindu dengan Sastra dia ingin memeluk Sastra kembali seperti dulu. Bahkan selama empat bulan ini rasanya Gama sangat mati rasa karena semua yang dilakukan.

Membuka pintu mobilnya Gama langsung keluar dan masuk ke dalam rumah di hadapannya. Saat sudah masuk pun Gama sudah melihat jika om Revan, Tante Nita, dan Almira sudah duduk di meja makan. Tetapi, kenapa gadis itu pagi ini tidak ada? Apakah sudah berangkat atau malah dia kesiangan?

Gama sendiri sudah tahu jika Damian tidak ada karena sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta.

"Gama kamu sudah datang, ayo sini kita makan sama-sama," ajak Almira saat menyadari jika Gama sudah berada disana.

Gama hanya menganggukkan kepalanya kaku.

Gama mencoba mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan rumah ini, siapa tahu dia dapat melihat Sastra meskipun sekejap saja. Tetapi, itu semua nihil dia tidak mendapati sosok gadis itu.

Tiba-tiba saat dirinya mulai makan, suara pecahan dari arah dapur terdengar dan membuat mereka semua menghentikan makan mereka.

"Sebentar, biar Tante cek dulu ke dapur ya," ucap Nita sembari menatap Gama.

"Ya ampun Non Sastra gakpapa kan? Ada yang sakit gak?"

"Eh... Maaf Bi Sastra gak sengaja. Sastra tadi sedikit pusing."

"Pusing? Apa Non sakit lagi? Kalau sakit jangan masuk ke sekolah dulu Non."

Sastra masih diam dan memegang kepalanya yang seolah hampir pecah.

"Apa yang terjadi?" tanya Nita saat sudah sampai di dapur.

"Oh.... Maaf nyonya tadi saya gak sengaja pecahkan piring waktu habis cuci, maafkan saya yang ceroboh," jawab Mirna langsung. Jika saja Nita tahu yang memecahkan adalah Sastra pasti gadis itu akan terkena marah besar oleh Nita.

"Astaga Bi... Yang hati-hati dong. Jangan ulangi lagi Bi," tegur Nita dengan kesal dan hanya diangguki kepala oleh Mirna.

Nita akhinya berlalu dari dapur meninggalkan Sastra dan Mirna.

"Bibi kenapa bohong? Maafin Sastra ya Bi buat Bibi jadi dimarahin sama Mama," ucap Sastra merasa tidak enak.

"Aduh gakpapa Non... Tapi, Non Sastra beneran gakpapa kalau sekolah sekarang? Takutnya nanti kenapa-napa."

"Enggak Bi... Bi Mirna tenang aja oke?"

Sastra akhirnya memilih untuk berangkat sekarang dan berpamitan kepada Mirna. Saat akan memilih berangkat melalui depan rumah pasti dia akan ketemu dengan Gama. Maka, Sastra memutuskan untuk keluar dari belakang rumah.

Sastra melihat mobil Gama yang masih terpakir disana berarti laki-laki itu dan Almira belum berangkat ke sekolahan. Dengan segera Sastra berlari dari sana dan mulai mencari taksi.

Sudah beberapa menit menunggu, Sastra belum melihat taksi maupun ojek yang lewat. Dia takut jika tidak segera mendapatkan tumpangan maka dia akan terlambat ke sekolah.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya dan kaca mobil itu diturunkan oleh sang pemilik. Dan Sastra dapat mendapati jika itu adalah Almira dan Gama. Sastra merutuk dalam hatinya kenapa paginya begitu buruk? Harus berurusan dengan mereka.

"Sastra mau berangkat bareng gak?" tawar Almira dengan senyum yang terlukis di bibirnya.

***

Detik Sastra (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang