D e t i k t i g a p u l u h

336 26 0
                                    

"Kak Mian," ucap Sastra senang saat melihat Damian yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.  Sastra sungguh tidak menyangka, jika Damian sudah sangat berubah seperti dulu lagi. Bahkan, sekarang Damian begitu sangat lebih menjaga dirinya.

"Hai, selamat pagi Tante, Sastra dan.... Tamara," ucap Damian sembari melihat Tamara yang sekarang menatap dirinya tajam.

"Pagi Damian. Wah kamu bawa apa itu?" tanya Tari melihat sekantong plastik yang dibawa Damian.

"Oh ini sarapan Tan... Kalian semua udah makan ya?" tanya Damian.

"Wah Tante habis beli bubur sama Sastra, ini dia lagi makan. Tapi, Tamara belum tuh Dam. Tamara gak suka bubur jadi ya gak mau Tante belikan tadi," jelas Tari, sedangkan Tamara langsung melotot melihat mamanya. Kenapa mamanya begitu terlihat antusias seperti sedang menjodohkan dirinya dengan Damian.

"Oh... Yaudah nih sarapan sama gue. Gue beli masakan rendang."

"Wah kebetulan banget Damian... Tamara ini suka banget sama masakan padang apalagi rendang. Dia kalo makan rendang bisa nambah nasi loh Dam."

Tamara yang mendengar ibunya tadi berbicara lagi membuat dirinya seakan ingin menghilang saja dari bumi ini dengan seketika. Bisakah mamanya ini tidak mempermalukan dirinya lebih lama lagi?

"Gitu ya? Ehm... Boleh nambah nih tadi beli banyak juga."

"Enggak... Gue gak suka sama rendang kok. Apalagi rendang yang dibawa sama orang yang gak bertanggung jawab kayak lo ini."

Damian hanya mengernyit heran. Mengapa gadis ini terlihat begitu sensi dengan dirinya? Namun, Damian dapat mengerti jika dirinya dulu begitu brengsek selalu menyakiti hati Sastra ataukah gara-gara itu Tamara masih marah dengannya? Dan tidak bertanggung jawab? Apakah maksudnya saat kemarin dia baru saja kembali dari ruang inap Almira dan kembali lagi ke ruangan Sastra dan mendapati Tamara langsung menyemprot dirinya habis-habisan dengan kata-kata mutiara di dalamnya.

"Loh kok gitu gak usah malu lah Tam," sela Tari.

"Iya Tamara kamu makan aja, aku juga tahu kok kamu suka sama rendang," timpal Sastra polos.

Aduh... Kedua wanita ini begitu tidak bisa melihat keadaan dengan baik.

"Gue mau makan di kantin aja deh. Bye!"

Sastra dan Tari hanya dapat mengernyit heran melihat tingkah dari Tamara.

"Dasar anak gengsian," celetuk Tari dan membuat Sastra langsung tertawa kecil sedangkan Damian hanya menarik sudut bibirnya geli melihat tingkat Tamara.

***

"Gama sebenarnya Om ngajak kamu makan di kantin bukan juga hanya untuk sarapan saja. Melainkan, Om ingin berbicara sama kamu," ucap Revan saat sudah berada di kantin. Dan keduanya sekarang sudah duduk berhadapan, setelah memesan makanan.

"Oh iya Om? Mau bicara apa?" balas Gama dengan sopan. Dirinya harus tahan untuk seakan-akan dirinya betah berada disini. Padahal keinginannya yang paling dalam Gama ingin segera meninggalkan Revan dan pergi ke kamar Sastra, untuk melihat keadaan gadis itu. Memang, Gama harus melakukan ini terlebih dahulu dengan mendatangi Almira lebih dulu karena jika Sandi tahu Gama tidak mendatangi Almira pagi pasti Revan akan memberi tahu Sandi. Dan papanya itu pasti akan marah dan mengancam hal yang tidak-tidak.

"Gini Gama. Kamu sudah tahu kan jika Sastra bukan anak kandung Om? Sandi sudah beri tahu Om kalau dia sudah memberi tahu kamu. Jadi, apakah kamu masih mau sama Sastra?"

Gama hening sebentar sebelum menjawab pertanyaan dari Revan.

"Memangnya kenapa Om?" tanya Gama. Memang ada apa dengan Sastra bukan anak kandung dari lelaki paruh baya di depannya ini, tidak membedakan sama sekali rasa yang dimiliki Gama dengan Sastra bahkan rasa itu mulai tumbuh besar saat mengetahui kehidupan dari Sastra.

"Yaa... Kamu pasti sudah tahu kalau Om bekerja sama dengan perusahaan Papa kamu. Sebenarnya Om tidak setuju untuk menanamkan investasi di perusahaan Papa kamu. Tapi, ya karena ada sesuatu jadi Om mau," ucap Revan dengan tidak tahu malu.

Gama yang mendengar itu merasa kesal akan kesombongan lelaki paruh baya ini.

"Om langsung aja ya Gama. Om ingin kamu putus dengan Sastra."

Gama langsung tersentak saat mendengar penuturan dari Revan.

"Om maaf kalau aku lancang, tapi aku gak bisa."

"Ya itu terserah kamu. Kamu tahu sendiri kan bagaimana kondisi Sastra sekarang? Kalau sampai Om usir dia dari rumah dan tidak memperhatikannya lagi pasti akan sangat membuat anak itu merasa sakit lagi."

Gama mendengus mendengar itu bahkan Sastra saat di rumah sepertinta juga tidak diperhatikan oleh keluarganya yang busuk ini.

"Om kasih kamu kesempatan untuk berfikir Gama. Kalau kamu sama Almira maka investasi Om di perusahaan Papa kamu akan terus berlanjut dan Om akan terima Sastra kembali di rumah Om."

Gama langsung memikirkan kembali perkataan dari Revan. Jika investasi berjalan dan Revan akan menyetujui proyek dari papanya maka bundanya pasti akan aman di rumah kecil itu. Dan kalau Revan menerima kembali Sastra maka gadis itu pasti akan senang karena Gama juga tahu kalau Sastra begitu mencintai keluarganya yang seharusnya mereka tidak berhak mendapat itu dari gadis itu.

"Bagaimana penawaran Om? Om hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anak Om, Almira. Om tahu kalau Almira itu suka sama kamu, tapi dia tahan karena kamu sudah bersama dengan Sastra. Bahkan dia lebih mengalah bukan? Mengingat Sastra dia lebih memilih menjauhi kamu, tetapi apa yang dia dapat? Almira yang sekarang sedang berada di ranjang rumah sakit itu gara-gara Sastra."

"Sebenarnya Om juga bingung dengan kamu. Apa yang kamu harapkan dari Sastra? Pintar juga tidak, menyusahkan iya adanya. Tapi kamu malah memilih anak itu."

Ucapan dari Revan sungguh sangat keterlaluan sedari tadi Gama hanya dapat menahan dengan mengepalkan tangannya dibawah meja. Sungguh, ingin sekali Gama memukul laki-laki paruh baya ini yang sudah sangat menjelek-jelekkan Sastra.

"Mungkin Sastra terlihat begitu dimata Om. Tapi dimata ku Sastra lebih dari apapun. Dan aku bakal lakuin apapun demi kebahagiaannya," ucap Gama dan membuat Revan terlihat kesal.

"Jika begitu maka terima saja permintaan Om."

"Aku terima asal Om mau memenuhi syarat dari aku Om. Apakah Om setuju?"

"Persyaratan apa itu?"

"Aku ingin Om dan Tante Nita memperlakukan Sastra layaknya anak sendiri dan tidak membeds-bedakan dengan Almira. Apakah Om mau?"

"Kamu ini! Om tidak bisa. Melihat wajahnya saja Om tidak kuat apalagi harus berpura-pura baik dihadapannya."

"Kalau begitu aku tidak akan mau menerima tawaran Om."

"Maka investasi itu akan Om tolak."

"Silakan Om... Itu urusan Papa dan bukan aku."

Revan menahan amarahnya saat mendengar ucapan dari Gama. Jika bukan karena Almira menyukai lelaki ini, maka Revan tidak akan sudi untuk meminta bantuan dari laki-laki di depannya ini.

"Hm... Baiklah Om setuju. Tapi kamu harus mau putus dengan Sastra dan memilih bersama dengan Almira."

"Baik aku akan putus dengan Sastra dan aku akan berpacaran dengan Almira," balas Gama.

Tanpa disadari Tamara yang baru saja akan duduk mendengar ucapan dari Gama. Lelaki itu akan memutuskan sahabatnya dan akan berpacaran dengan Almira? Sungguh lelaki ini sangat bejat dan brengsek tidak pernah terpikirkan oleh Tamara jika Gama begitu sangat busuk. Lalu, apa tatapan khawatir yang kemarin Tamara lihat saat memberi tahu lelaki itu jika Sastra sedang berada di rumah sakit? Atau itu hanya cuma pura-pura. Dasar lelaki bulshit!

***

Detik Sastra (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang