D e t i k e m p a t p u l u h d u a

327 23 0
                                    

Almira dan Sastra baru saja sampai di rumah. Mereka berempat tadi memang pulang bebarengan dan tentu Almira bersama dengan Gama. Sedangkan, Sastra bersama dengan Noah.

Sastra langsung masuk ke dalam rumah setelah Noah tadi berpamitan kepadanya. Saat akan masuk ke dalam rumah Sastra dapat melihat jika Gama sekarang sedang membantu menurunkan Almira dengan hati-hati. Hingga tanpa sengaja pandangan mereka berdua bertemu.

Gadis itu merasakan rindu kepada laki-laki yang sekarang sedang menatapnya ini. Apakah benar jika Gama sudah tidak memiliki perasaan untuknya? Atau memang sejak dulu Gama tidak mencintai dirinya? Sastra merutuki pikirannya saat mendengar suara deheman dari seseorang.

Almira berdeham karena merasa kesal saat melihat Gama dan Sastra yang berpandangan. Apa mereka berdua tidak melihat jika ada dirinya disini?

Sastra langsung melihat Almira tidak enak dan gadis itu segera memilih untuk pergi ke kamarnya. Saat sudah sampai di dalam kamar Sastra langsung masuk ke dalam kamar mandi dan segera membersihkan dirinya.

Setelah itu, dia langsung mengambil ponselnya dan segera menghubungi kakaknya. Karena kemarin dia lupa untuk menghuhungi kakaknya. Dan jika Damian tidak dihubungi makan laki-laki itu akan merasa marah dan kesal dengan dirinya dan Sastra harus menghindari itu.

"Halo Kak Mian," sapa Sastra dengan sumringah.

"Haloo.... Oh masih ingat nih sama Kakak," sindir Damian saat mendapati suara dari Sastra.

"Hehehe... Jangan marah dong Kak. Kemarin aku lagi sibuk beneran deh. Jadi lupa buat hubungi Kakak."

"Alasan aja kamu ini. Tapi, jangan diulangi lagi ya? Kakak khawatir sama kamu."

Sastra yang mendengar itu tersenyum penuh hari. Ternyata Damian memang sudah berubah dan dia juga begitu menyanyi dirinya.

"Jujur Sastra. Kakak merasa khawatir meninggalkan kamu sendirian di rumah itu. Apa Papa sama Mama memperlakukan kamu dengan baik? Atau Almira juga buat kamu susah?"

Ucapan dari Damian membuat Sastra tersentak. Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya dengan Damian. Damian sudah begitu baik dengan dirinya dan Sastra tidak ingin membuat Damian harus merasa khawatir dengan dirinya ini dsna malah mengganggu pendidikannya disana.

"Kok Kak Mian bilang gitu sih! Papa sama Mama jelas baik sama aku. Dan Almira juga gak buat aku susah kok. Aku merasa nyaman disini. Dan Kak Mian gak usah khawatir sama aku okey?"

"Huh... Kakak harap kamu tidak berbohong Sastra."

"Jelas enggak Kak."

Mereka berdua pun menghabiskan waktu untuk saling berbicara hingga satu jam lamanya. Dan setelah itu Damian meminta izin untuk menutup panggilannya karena dirinya ingin mengerjakan tugas.

***

Malam sudah menunjukkan pukul delapan malam lebih dan sekarang Sastra sedang berkutat dengan buku-buku dihadapannya. Sastra menyadari jika dirinya sudah kelas dua belas dan ingin menjadi pintar seperti kakaknya hingga diterima di perguruan tinggi negeri. Sastra sendiri juga memiliki mimpi. Dia ingin menjadi seorang disainer dan memiliki butik sendiri. Terkadang Sastra ingin menghilangkan mimpi itu karena dia merasa jika tidak bisa karena penyakit yang dia derita. Sastra kadang berfikir jika dirinya tidak bisa hidup lebih lama karena penyakitnya. Tetapi, Dokter selalu mengatakan bahwa dirinya pasti bisa sembuh. Dan sejak kecil membuat Sastra harus sering dirawat di rumah sakit.

Hingga sampai Sastra menginjak sekolah menengah pertama. Keadaannya mulai membaik, tetapi dia masih baru belajar dari rumah. Papa dan mamanya dulu memberikan dirinya seorang guru yang mengajar Sastra di rumah. Semenjak itu, Sastra mulai kembali membangun mimpinya dan pasti bisa untuk mencapainya.

Pintu ruangan kamar Sastra terbuka dan membuat Sastra langsung melihat ke arah pintu dan disana ada Nita yang baru saja masuk. Ada apa yang membawa mamanya kemari? Tidak biasanya. Sastra akhirnya meninggalkan meja belajar dan mendatangi Nita. Mereka berdua sekarang saling berhadapan.

"Ada apa Ma kesini?" tanya Sastra sembari tersenyum.

Tetapi, bukan mendapat jawaban dari Nita melainkan malah satu tamparan melayang di pipinya hingga membuat Sastra langsung memegang pipinya yang panas. Sastra tidak tahu apa yang sudah dia lakukan sehingga membuat Nita begitu marah dengan dirinya. Mamanya juga sekarang sudah menatap dirinya marah.

"Sastra apa kamu tidak tahu malu ha? Kamu tidak tahu diri sama sekali. Kamu masih menginginkan Gama disaat pria itu menjadi kekasih saudaramu sendiri!"

Sastra yang mendengar itu bingung. Menginginkan Gama? Apa maksudnya. Bahkan dia sekarang sudah mulai melupakan Gama dalam hatinya dan tidak pernah bertegur sapa dengannya.

"Apa maksud Mama. Aku gak ngerti," sahut Sastra.

"Kamu tahu tadi Almira menangis di dalam kamar. Dan dia meninggalkan makan malamnya karena dia menangis melihat kamu sama Gama!"

Nita merasa kesal saat dirinya mengantar makanan untuk Almira, ternyata putrinya itu tertidur di ranjangnya yang besar sembari menangis. Nita langsung khawatir dan segera menanyakan hal apa yang membuatnya seperti itu.

"Almira bahkan menutupi semuanya, supaya apa? Biar kamu tidak kena marah sama Papanya. Kamu tahu sendirikan Sastra kalau Papamu itu marah."

"Sastra kurang baik apa lagi kami sama kamu ha? Kami sudah merawat kamu dari kecil memberikan kasih sayang yang seharusnya didapatkan oleh Almira juga. Tetapi, kamu malah menghancurkan Almira. Apa kamu mau balas dendam sama dia!"

Sastra yang mendengar itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menolak tuduhan dari Nita. Mata Sastra mulai berkaca-kaca.

"Aku tidak seperti itu Ma ---"

"Halah bohong kalau kamu mau balas dendam jangan pada Almira sama Mama aja, Mama kasihan sama Almira Sastra. Almira tidak pernah mendapat keadilan dari kecil. Dan Mama hanya ingin menebusnya sekarang. Mama akan lakuin apapun demi Almira. Dan kamu harus sadar Almira kalau bukan karena Almira kamu sudah pergi dari rumah ini," potong Nita cepat.

Sastra yang mendengar itu merasakan sakit di hatinya. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi karena pasti mamanya pun tidak akan mempercayainya.

Nita langsung memilih pergi dari kamar Sastra dan meninggalkan Sastra yang langsung terduduk lemas di kamarnya.

"Kehidupan macam apa yang Ayah dan Ibu inginkan untukku? Apa ini yang disebut kebahagiaan Yah? Aku lebih memilih bersama kalian saja. Dan lebih memilih mati karena sakitku daripada aku harus menanggung setiap tatapan kebencian dari orang yang aku sayangi."

"Kenapa Ayah dan Ibu tega melakukan ini sama aku? Apa salahku Yah. Kenapa aku tidak diajak saja pergi bersama kalian."

Dalam malam itu Sastra hanya mampu menangis dalam kamarnya. Di dalam rumah ini mereka semua membenci dirinya. Tetapi, kenapa Sastra masih selalu menginginkan berada disini dan selalu berharap jika dirinya pasti bisa kembali bersama dengan papa dan mamanya.


Disisi lain Gama masuk ke dalam kamarnya saat sudah sampai di rumah papanya. Hari ini begitu melelahkan baginya. Apalagi melihat Sastra yang sekarang menjalin hubungan dengan orang lain. Gama merasakan sesak di dadanya. Namun, bukankah ini yang dia inginkan? Jika Sastra dapat bahagia dengan cowo itu maka Gama harus menghiklaskannya. Tapi, apakah dia bisa?
Laki-laki itu hanya meyadari jika mungkin saja dalam kehidupannya tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan. Di malam hari itu pun seoarang El Gama Zergio juga menangis dalam keheningan malam meratapi kehidupannya sembari memeluk bingkai foto dirinya bersama dengan Sastra.

***

Detik Sastra (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang