BAGIAN 23

704 60 5
                                    

🌻Happy Reading🌻

•••••

20:30

BERULANG KALI membolak balik halaman novel yang berada di tangan nya, Khanza mendesah pelan. Pikiran nya benar-benar bercabang, ada banyak pertanyaan yang sejak tadi terus menggelayut di kepala. Melirik jam yang tergantung di bagian kiri dinding kamarnya, Khanza menghela nafas.

Gadis dengan setelan panjang piyama satin berwarna lilac itu turun dari tempat tidur. Mengambil ponselnya yang tergeletak diatas nakas, Khanza memutuskan untuk keluar dari kamar tanpa mengenakan jilbab. Ini sudah malam dan di rumah tidak ada laki-laki selain Abinya dan Aijaz,  jadi Khanza bisa leluasa keluar tanpa jilabnya. Dia ingin bicara dengan Abdullah—Abinya, tentang sesuatu yang ia dengar dari mulut Arkana, pagi tadi.

Ceklek

Pintu kamar yang terletak di lantai dua itu terbuka. Menengok kearah bawah, ternyata lampu ruang keluarga masih menyala. Khanza tersenyum begitu melihat sang Abi tengah duduk sendirian di sofa panjang depan televisi dengan jari yang sibuk menari-nari diatas keyboard laptop yang ada di hadapan nya. Bergegas gadis itu menuruni anak tangga, mendekat kearah sang Abi.

“Abi?”

Mendengar suara lembut milik putri sulungnya, Abdullah sedikit tersentak. Tak lama bibirnya tersenyum saat sang putri tiba-tiba saja merangkul lehernya, manja. Kalau sudah begini, Abdullah tahu bahwa ada sesuatu yang ingin putrinya bagi. Entah cerita, keluh kesah atau malah sedang menginginkan sesuatu.

Mendongak kan kepala agar bisa menatap wajah cantik putrinya, Abdullah tersenyum. “Iya sayang, ada apa? Kenapa belum tidur, hmm?” Ucapnya, lembut.

Khanza melepaskan rangkulannya, lalu mengambil duduk tepat disamping sang Abi sembari memeluknya erat. Abdullah terkekeh melihatnya, di kecupnya puncak kepala Khanza penuh sayang, mengusap surai panjang milik putrinya. Sifat manja Khanza ini benar-benar persis seperti Uminya—Aira.

“Abi sendiri kenapa masih disini? Kenapa belum tidur?” Tanya Khanza, mendongak kan kepala.

“Masih banyak pekerjaan yang harus Abi selesaikan, Sayang. Kalau Abi kerjakan di kamar nanti tidur Umi bisa terganggu. Kasihan kan Umi, dia pasti juga lelah.” Jawab Abdullah.

Khanza tersenyum, beruntung sekali Uminya itu, dicintai sedemikian dalam oleh laki-laki terbaik seperti Abdullah—Abinya. Cinta yang tidak pernah berkurang di sepanjang usia mereka, cinta yang selalu membawa ketenangan dalam keluarga. Tidak pernah sekalipun Khanza mendengar hal buruk tentang Abinya dari mulut sang Umi. Dalam hati Khanza berharap, semoga kelak dia pun akan merasakan dicintai sedemikian dalam oleh laki-laki yang Allah pilihkan.

“Beruntung sekali ya Umi? Dicintai oleh laki-laki baik seperti Abi.” Ucap Khanza.

Abdullah tersenyum. Di tatapnya lembut manik hitam milik putrinya. “Tidak hanya Umi, sayang. Abi juga mencintai Khanza dan Aijaz sama besar.” Ucap Abdullah.

Khanza mengangguk. “Doakan Khanza, Abi. Semoga suatu hari nanti ada laki-laki baik yang bisa mencintai Khanza setulus Abi mencintai Umi.”

Mendengarnya, Abdullah tersenyum. Bahkan doa putrinya ini sudah lebih dulu Allah kabulkan sebelum dia meminta. Abdullah sudah menemukan nya, menemukan laki-laki yang begitu tulus menginginkan putrinya. Hanya saja, sepertinya Allah ingin lebih dulu melihat seberapa kuat keinginan itu.

Cinta sebening Air (END) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang