🌻Happy Reading🌻
••••
KEPUTUSAN yang ia ambil sudah bulat.
Anindya, gadis itu tidak mau terus menerus membiarkan lukanya menganga tanpa diobati. Sudah saatnya ia mengambil keputusan untuk kebaikannya sendiri. Ah, perkara hati memang terkadang sesulit ini.
Tak hanya membayangkan saat-saat bahagianya saja, saat seseorang jatuh hati maka akan ada dua kemungkinan buruk yang juga harus siap dia hadapi di kemudian hari. Yaitu, disakiti oleh dia yang dicintai atau disakiti oleh harapannya sendiri. Seperti yang tengah gadis itu alami.
Mengeluarkan pakaian dari dalam lemari, gadis itu kemudian menyusunnya dalam koper hitam berukuran besar yang ia letakkan di atas kasur. Seperti yang sudah ia diskusikan dengan Raya dan Rayyan semalam, keputusannya untuk mengambil tawaran pekerjaan dari salah seorang temannya di Sulawesi, sudah bulat. Gadis itu hanya mengatakan pada sang kakak bahwa ia ingin belajar hidup mandiri. Meski itu benar, tetapi alasan terbesarnya tentu saja karena ia ingin melupakan perasaannya pada Khaizar, dengan cara pergi sejauh mungkin.
Hanya dengan ini dia bisa menyelamatkan banyak hati. Hatinya, hati Khaizar juga Khanza. Tanpa mereka sadari.
"Kamu serius ingin pergi, dek?"
Anindya tersenyum. Sekilas menolehkan kepala ke arah sang kakak yang kini tengah berdiri di ambang pintu sembari memperhatikannya menyusun baju.
"Kalau baju sudah masuk dalam koper begini, masa iya mau becanda, Mas?" Jawabnya, terkekeh pelan.
Rayyan menghela napas, berjalan mendekati sang adik. "Kalau cuma soal pekerjaan tidak perlu sampai jauh-jauh ke Sulawesi lah, dek. Bekerja di perusahaan Mas saja, ya? 'kan sama saja? Mas juga bisa menempatkanmu di posisi manapun yang kamu kamu." Ucapnya, masih berusaha membujuk sang adik.
"Mas sudah setuju lho semalam."
"Iya, tapi, Sulawesi itu jauh lho, dek. Kalau di sana kamu butuh apa-apa atau kamu kenapa-napa bagaimana?"
Menghentikan aktifitasnya, Anindya menghela napas pelan. Gadis itu ikut mendudukan diri di tepi ranjang, tepat di samping sang kakak.
"Adikmu ini bukan lagi anak umur lima tahun, Mas. Anin sudah dewasa, InsyaAllah sudah bisa jaga diri sendiri dengan baik. Mas cukup doakan saja dan jangan khawatir berlebihan." Anindya tersenyum, mengusap singkat punggung tangan sang kakak.
"Kamu adik Mas satu-satunya, Nin. Bagaimana Mas tidak khawatir? Setelah Papa dan Mama meninggal, kamu jadi tanggung jawab Mas sepenuhnya." Rayyan memiringkan badan menghadap ke arah sang adik.
"Mas yakin ini bukan hanya tentang pekerjaan. Sebenarnya ada apa denganmu?" Tanya Rayyan, menatap sang adik serius.
"Seperti yang semalam Anin katakan. Anin ingin belajar hidup mandiri dan—"
"Melupakan Khaizar, begitu?" Potong Rayyan, tepat sasaran.
Mendengar pertanyaan sang kakak membuat Anindya terkejut. Bagaimana kakaknya bisa berpikir begitu?
Terkekeh pelan, Anindya mencoba menyembunyikan apa yang ia rasakan. "Kok, jadi bawa-bawa nama kak Khaizar, sih, Mas? Aneh, deh." Kilahnya.
"Jujur dengan Mas, Anin. Kamu bukanlah gadis yang pandai berkilah." Tegas Rayyan. Membuat sang adik terdiam. "Kenapa diam? Jadi, benar yang Mas katakan? Kamu menyukai Khaizar?" Tanyanya.
Dan, kali ini rasanya sudah tak ada kalimat lain yang bisa ia jadikan alasan. Kakaknya terlalu pandai menebak perasaan yang sudah serapih mungkin ia sembunyikan. Dengan tangan yang saling menggenggam erat, gadis itu akhirnya mengangguk pelan, mengakui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta sebening Air (END) ✔️
Fiksi Umum"Biarlah air mengalir. Biarlah angin mendingin. Biarlah cinta di dada. Demikian pula kita, biarlah seperti yang seharusnya." •••••• Khanza Rumi Abdullah Kecintaan nya pada air tak pernah berubah. Sejak ia kecil hingga beranjak dewasa. Gadis itu teta...