🌻Happy Reading🌻
••••
BERKUMPUL di ruang keluarga, Arkana meminta keluarganya untuk mendengarkan apa yang akan ia jelaskan tentang pertemuannya dengan Abdullah dan putrinya, Khanza.
Raya dan Rayyan yang baru saja kembali dari acara kantornya itu pun ikut pula membersamai. Mendengar bahwa Papanya sudah melamarkan seorang gadis itu Khaizar, Raya menjadi orang yang paling berbahagia. Berbeda dengan Anindya, gadis yang saat ini duduk di samping Rayyan—kakaknya itu, terlihat murung dan lesu.
Menyisir pandangan ke arah wajah anggota keluarganya satu per satu, Arkana bisa menangkap raut berbeda di wajah Anindya. Lelaki paruh baya itu sudah menyadari perbedaan Anindya bahkan sejak awal ia dan Khaizar membicarakan Khanza.
Memperbaiki posisinya, Arkana bersiap untuk bicara. “Ekhem.” Dehemnya, memecah keheningan.
Arini yang sudah tak sabar pun terus mengoyak-oyak tangan Arkana. “Cepat dong, Pa. Langsung saja!” Desaknya.
Arkana terkekeh. “Ya, sabar dong, Ma. Baru juga mau buka mulut.” Ucapnya.
“Jadi, siang tadi Papa bertemu dengan Abdullah, kami membicarakan banyak hal.”
Dengan tenang Arkana mulai menjelaskan tentang pertemuannya dengan Abdullah, yang tentu saja sudah ia sensor di beberapa bagian. Lelaki paruh baya itu hanya menceritakan yang penting-penting saja tanpa sedikitpun menyinggung soal masa lalu, dia sudah tutup buku.
Ceritanya di mulai dari nasehat yang Abdullah berikan tentang kebahagiaan anak-anaknya, lalu ia yang mulai bisa menerima dan pada akhirnya memutuskan meminang Khanza untuk Khaizar dengan alasan bahwa ia yakin Khanza memang gadis yang baik untuk putranya.
“Jadi begitu ceritanya.” Ucap Arkana, mengakhiri ceritanya.
Semua mengangguk paham, termasuk Khaizar. Rasa penasarannya pun sudah terbayar sekarang.
“Jadi, kapan mau di resmikan, Pa?” Tanya Raya, antusias. “Jangan lama-lama, Khaizar kan sudah tua, Pa.” Ledeknya.
“Huu .. Enak saja! Yang sudah tua itu, ya, kakak.” Balas Khaizar, tak terima.
Raya terkekeh.
“Sudah-sudah. Lagipula kalian berdua itu memang sudah sama-sama tua.” Lerai Arkana. “Dan, ya, soal Khaizar dan Khanza. Papa ikut bagaimana Khaizar saja. Dia mau kapan lamaran resminya?” Sambungnya.
Arini menepuk pelan paha putranya. “Tuh, dengar. Jadi, kapan kita datang ke rumah besan? Mama sudah tidak sabar. Duh, seru pasti besanan dengan Aira itu. Apalagi punya mantu seperti Khanza, dia itu memang sudah jadi incaran Mama sejak dulu-dulu. Sejak kalian masih suka main air.” Cerocos Arini, terkekeh.
Mendengarnya, semua ikut terkekeh. Kecuali, Anindya. Gadis itu semakin terlihat tak semangat.
Menyadari gelagat berbeda dari sang adik, Rayyan menepuk pelan punggung tangan Anindya. “Ada apa, dek? Kok lemes? Sakit?” Tanya Rayyan, lirih.
Anindya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa kok, Mas. Hanya kurang enak badan saja.” Jawabnya.
Rayyan hanya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta sebening Air (END) ✔️
Fiksi Umum"Biarlah air mengalir. Biarlah angin mendingin. Biarlah cinta di dada. Demikian pula kita, biarlah seperti yang seharusnya." •••••• Khanza Rumi Abdullah Kecintaan nya pada air tak pernah berubah. Sejak ia kecil hingga beranjak dewasa. Gadis itu teta...