🌻Happy Reading🌻
••••••
PEMUDA dengan apron hitam itu terlihat sibuk.
Peluh yang membasahi pelipis, menandakan seberapa besar totalitasnya dalam bekerja. Tak ingin ada rasa yang kurang , sekali lagi lidahnya mencicip adonan cake coklat sebelum dimasukan kedalam oven.
Mengangguk, Anas merasa puas dengan hasil adonan yang ia buat. “Nah, mantap!” Gumam nya.
Selesai mengatur temperatur suhu yang pas, Anas memasukan adonan cake coklat kedalam oven yang ukuran nya cukup besar. Tersenyum, Anas menghela nafasnya, lega.
“Serius sekali, chef!” Ledek Sabrina. Gadis berkhimar panjang itu datang dari arah pintu dapur.
Anas menoleh. “Harus dong, demi kepuasan pelanggan!” Ucapnya, terkekeh.
Sejak mengawali bisnis ini bersama kedua teman nya, Anas memang tidak main-main. Pemuda itu bahkan rela menghabiskan waktu dua tahun untuk mengikuti kursus Baking, agar bisa menguasai bidang bisnis yang tengah ia tekuni. Tak sia-sia, sampai saat ini segala macam kue yang dibuatnya selalu berhasil memanjakan lidah pelanggan. Tentu saja Anas tidak sendirian, ada beberapa karyawan yang setiap hari membantunya menyelesaikan pesanan kue.
“Ngomong-ngomong, tumben kamu kemari. Ada apa?” Tanya Anas. Pasalnya, Sabrina jarang sekali kedapur jika tidak ada hal yang urgen. Gadis itu lebih suka bertugas melayani pelanggan di depan.
“Tidak ada, hanya ingin kemari saja. Memangnya tidak boleh?” Ucap Sabrina, bersedekap dada.
Anas terkekeh. Berjalan kearah wastafel untuk mencuci tangan. “Tentu saja boleh. Kamu mau ku buatkan sesuatu?” Tanya Anas.
“Merepotkan tidak?”
“Tidak, kecuali kamu minta dibuatkan candi coklat dalam satu malam. Mungkin aku keberatan.” Seloroh Anas.
Sabrina mencebik. “Lebay!”
Anas terkekeh. “Jadi, mau dibuatkan apa?”
“Hmm, coklat hangat buatan mu sepertinya enak.”
“Oke, tunggu sebentar. Biar ku buatkan.” Ucap Anas.
Sabrina mengangguk. Menghela nafasnya, pelan. Gadis itu terus memperhatikan gerak-gerik Anas. Sebenarnya, bukan tanpa alasan ia kemari, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya sejak kemarin dan itu berhubungan dengan Anas.
“Nas?”
Anas menoleh. “Hmm?” Dehemnya, singkat.
“Kalau sudah selesai, kita bisa bicara sebentar?” Tanya Sabrina, ragu.
Melihat keraguan di mata Sabrina, Anas tersenyum. “Tentu saja, ada hal yang penting kah?” Anas balik bertanya.
“Tidak terlalu penting mungkin, tapi rasanya aku ingin berbagi padamu.”
“Tumben, biasanya selalu pada Khanza?” Tanya Anas, heran.
“Untuk kali ini, berbagi dengan mu boleh kan?”
Anas terkekeh. “Tentu saja boleh. Hmm, tapi kenapa? Ada masalah antara kamu dengan Khanza?” Tanya Anas, menerka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta sebening Air (END) ✔️
Fiksi Umum"Biarlah air mengalir. Biarlah angin mendingin. Biarlah cinta di dada. Demikian pula kita, biarlah seperti yang seharusnya." •••••• Khanza Rumi Abdullah Kecintaan nya pada air tak pernah berubah. Sejak ia kecil hingga beranjak dewasa. Gadis itu teta...