BAGIAN 39

679 56 0
                                    

🌻Happy Reading🌻

••••

PUKUL 18:15 ba'da Maghrib.

Semua telah berkumpul di ruang keluarga usai makan malam. Pertemuan Khaizar dengan ibu kandungnya menjadi topik utama perbincangan, lalu kemudian disusul oleh Anindya yang bicara tentang keputusannya mengambil tawaran pekerjaan di Sulawesi, semua jelas terkejut mendengar keputusan yang dinilai cukup mendadak itu, kecuali Raya dan Rayyan yang memang sudah diberitahu sejak awal. Gadis itu sekalian berpamitan, mengatakan bahwa ia akan terbang malam ini juga pukul sembilan malam.

Khaizar yang mendengar pun ikut terkejut. Ia bahkan sempat bertanya mengapa tiba-tiba sekali Anindya memutuskan menerima tawaran itu? Anindya menjawab sama, ia ingin belajar hidup mandiri, begitu katanya. Tak banyak lagi yang Khaizar tanyakan setelah itu, lagipula kalau Anindya sudah memutuskan, itu artinya dia sudah menimbang segala baik dan buruknya, bukan? Hanya sedikit pesan yang Khaizar berikan, berharap gadis itu bisa menjaga dirinya di kota seberang.

"Yaah, padahal pernikahan Khaizar 'kan hanya tinggal seminggu lagi. Sayang sekali kamu tidak bisa ikut menghadiri, Anindya." Raya melenguh pasrah, menatap lesu Anindya. Ibu satu anak itu tidak tahu tentang alasan lain di balik keputusan Anindya, suaminya sengaja tak memberitahu, takut istrinya kepikiran.

Gadis itu tersenyum. "Meskipun tidak turut hadir, tapi Anin bisa pastikan doa Anin akan turut membersamai. Semoga Allah mudahkan semuanya." Doa Anindya, tulus.

"Aamiin, terima kasih, Anindya. " Khaizar menjawab.

"Kelihatannya kamu sudah rapih, Nin? Apa kamu ingin pergi ke bandara sekarang?" Arini bertanya.

"Iya, tante. Anin terbang jam sembilan malam. Jadi harus bergegas dari sekarang, takut telat sampai bandara." Jawab Anindya.

"Kamu diantar Rayyan 'kan?" Tanya Arkana, lelaki paruh baya yang sejak tadi menyimak akhirnya membuka suara.

"Sepertinya Anin pesan taksi online saja, Om."

"Lho, kenapa begitu?"

"Entahlah Pa, padahal Rayyan sudah bilang biar Rayyan saja yang antar, tapi gadis ini keras kepala sekali ingin pergi sendiri. Takut menangis kalau Rayyan mengantarnya sampai ke bandara, katanya." Rayyan menjawab pertanyaan sang mertua.

"Tapi tidak baik pergi sendiri malam-malam. Lebih baik diantar." Arkana memberi pendapat.

"Benar, itu terlalu berbahaya, Anindya. Atau begini saja, kalau kamu tidak mau diantar Mas Rayyan karena takut menangis, biar aku saja yang antar kamu sampai bandara. Bagaimana?" Khaizar menawarkan.

"Eh? Tapi—" Suara Anindya tertahan.

Khaizar tersenyum. "Tenang saja, InsyaAllah tidak hanya berdua. Areez sebentar lagi datang, sebelum ini aku memang sudah memintanya membawakan beberapa berkas kemari. Dia bisa sekalian ikut dengan kita nanti." Jelas Khaizar, setelah melihat keraguan di wajah Anindya.

Anindya terdiam, masalahnya bukan hanya itu. Dia akan pergi jauh demi menghilangkan perasaannya pada Khaizar, tapi pemuda itu malah ingin mengantarnya sekalian. Rumit sekali! Pikirnya.

Gadis itu tak segera mengangguk, melainkan menoleh ke arah sang kakak, meminta persetujuan. Tak butuh waktu lama, Rayyan menganggukan kepala tanda setuju. Sengaja ia biarkan Khaizar mengantar, ia pikir adiknya bisa sedikit tenang saat melihat Khaizar sebelum kepergiannya.

"Baiklah,"

••••

Setengah jam kemudian, mobil Fortuner hitam milik Khaizar nampak gagah membelah jalan. Malam ini kendaraan nampak tak begitu padat, ia mengemudi dengan kecepan sedang menuju bandara YIA. Anindya mengatakan bahwa waktu keberangkatannya masih pukul sembilan, Khaizar bisa mengemudi dengan tenang.

Cinta sebening Air (END) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang