🌻Happy Reading🌻
••••
KEBAHAGIAAN terasa semakin dekat.
Setelah mendengar jawaban yang Khanza berikan, kini Khaizar bisa sedikit bernapas lega. Niat baik yang ia dan keluarga bawa akhirnya dibalas dengan jawaban yang baik pula.
Alhamdulillah
Menoleh ke arah sang Mama, Khaizar menyodorkan kotak kecil berwarna Hitam yang di dalamnya terdapat cincin yang sudah lama ia siapkan untuk Khanza. Bermaksud agar sang Mama mewakili dirinya memakaikan cincin pada calon istrinya itu. Arini mengangguk lalu mengambil apa yang putranya berikan.
Beranjak dari tempat duduknya, perempuan paruh baya yang malam ini nampak sangat elegan dengan balutan gamis brukat coklat muda itu kemudian mendekat ke arah calon menantunya.
“Nak, Khanza. Mewakili Khaizar, izinkan tante menyematkan cincin ini di jarimu, ya?” Ucap Arini.
Khanza mengangguk pelan. “Tentu, Tante.”
Arini tersenyum, dengan sangat hati-hati menyematkan cincin di jari manis calon menantunya. Cincin putih dengan satu berlian kecil di tengahnya, terlihat sangat indah tersemat di jari manis Khanza.
“Alhamdulillah,” Ucap Arini, memeluk erat calon menantunya.
Khaizar tersenyum bahagia, melihat bagaimana keluarganya menerima Khanza dengan sangat baik.
“Terima kasih sudah mau menerima putra tante, Nak.” Lirih Arini di sela pelukannya.
“Seharusnya Khanza yang bilang begitu, Tante. Terima kasih sudah memilih Khanza.” Balasnya.
“Khaizar yang memilih mu, dan tante hanya bersyukur atas pilihannya ini.”
Khanza tersenyum. Dalam hati tak henti mengucap syukur, betapa Allah maha baik telah mengelilinginya dengan orang-orang yang baik pula.
Begitupun dengan Abdullah dan Aira. Mengusap air mata yang membasahi pipinya, Aira ikut tersenyum bahagia melihat bagaimana Arini menerima putrinya dengan hangat.
“Alhamdulillah, acara intinya sudah selesai. Bagaimana, sekarang sudah lega 'kan, Khai?” Tanya Arkana, menepuk pundak putranya.
Khaizar mengangguk seraya menampilkan senyum yang sedikit lebih lebar dari hari-hari sebelum ini.
“Alhamdulillah. Lebih tepatnya, sih, sedikit lega, Pa.” Jawab Khaizar.
“Kok, sedikit?”
“Iya, sedikit, Pa. Leganya nanti kalau sudah halal.”
Semua terkekeh mendengar jawaban Khaizar. Sementara Khanza, gadis itu semakin menundukan kepala menyembunyikan rona merah di pipinya.
“Baiklah, karena acara inti sudah selesai. Sekarang bagaimana kalau kita lanjutkan dengan acara makan malam? Khanza dan Uminya sudah menyiapkan. Mari semua, kita ke ruang makan.” Ajak Abdullah.
“Wah, ini dia yang ditunggu-tunggu. Sebenarnya sebelum datang ke sini kami sengaja mengosongkan perut. Kemarin Khaizar bilang kalau gudeg buatan Khanza itu lezat sekali. Jadi, malam ini rencananya kami semua mau sekalian numpang makan di sini.” Gurau Arkana yang dibalas tawa oleh Abdullah.
“Boleh, silakan Pak Arkana. Kalau mau dibawa pulang pun akan kami siapkan nantinya, tenang saja.” Ucap Aira, ikut membalas gurauan.
Arkana terkekeh. “Wah, kalau begitu sih kesannya kami jadi tidak tau diri, Mbak Aira.”
Semua terkekeh mendengarnya. Suasana hangat pun semakin terasa, menggambarkan penerimaan yang tulus dari dua keluarga.
••••
Di sisi lain, ada hati yang tengah berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja, meski sebenarnya tidak.
Anindya, ia tengah dirundung nestapa. memandang lurus ke luar jendela, gadis itu berulang kali menghela napasnya pelan. Menyaksikan sendiri bagaimana cara Khaizar menatap Khanza membuatnya sadar diri. Tatapan itu, meski hanya sekilas namun terlihat begitu mendalam.
Anindya paham, Khaizar begitu mencintai Khanza. Tak akan pernah ada ruang di hati pemuda itu untuknya. Saat ini mau tidak mau, suka tidak suka ia harus bisa menerima bahwa tidak semua hal akan terjadi sesuai keinginannya. Toh, sejak awal pun memang hanya dia yang memiliki rasa, tidak dengan Khaizar. Bahkan mungkin sampai saat ini pemuda itu tidak tahu bahwa di ruang lain, ada hati yang menaruh rasa padanya.
“Nin, kamu sakit?”
Dan, satu tepukan pelan di pahanya berhasil membuat Anindya tersentak. Menoleh, gadis itu melayangkan senyum tipis ke arah Raya. Kakak ipar yang saat ini duduk tepat di sampingnya.
“Tidak, kak. Anin baik-baik saja.” Jawab Anindya.
“Tapi sejak kemarin kakak perhatikan kamu banyak melamun. Ada apa, apa ada masalah?” Tanya Raya, pelan.
Kalau saja bisa, ingin sekali rasanya Anindya mengatakan iya. Namun, gadis itu lebih memilih untuk diam. Perasaannya tak lebih penting dari kebahagiaan Khaizar saat ini.
“Hanya kurang enak badan, Kak.” Jawab Anindya, tersenyum.
“Benarkah? Kenapa tidak bilang? Kalau tahu kamu tidak enak badan, Kakak tidak akan memintamu ikut tadi.”
“Tidak apa-apa, Kak.”
“Sekarang keadaanmu bagaimana?” Khaizar yang duduk di kursi kemudi itu bertanya.
Anindya tersenyum tipis. “Sudah lebih baik, Kak.” Jawabnya, mencoba menahan suara agar tak terdengar bergetar.
“Syukurlah, tapi kalau kamu mau kita bisa mampir sebentar ke Rumah Sakit sebelum pulang. Bagaimana?” Tanya Khaizar.
“Tidak perlu, Kak.”
“Kamu yakin?”
“Iya, Kak.
Sekilas melirik Anindya dari kaca mobil bagian depan, haizar menghela napasnya pelan. “Ya sudah, kalau begitu.” Balas Khaizar. “Jaga kesehatanmu, Anindya.” Sambungnya.
“Hm,”
Kembali menolehkan wajah ke luar jendela, Anindya menggigit bibirnya. Berusaha menahan agar air matanya tidak tumpah saat itu juga.
••••
Story By
Assalamualaikum..
Terima kasih sudah membacaMaaf updatenya lamaaa🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta sebening Air (END) ✔️
Ficción General"Biarlah air mengalir. Biarlah angin mendingin. Biarlah cinta di dada. Demikian pula kita, biarlah seperti yang seharusnya." •••••• Khanza Rumi Abdullah Kecintaan nya pada air tak pernah berubah. Sejak ia kecil hingga beranjak dewasa. Gadis itu teta...