Bagi Laven, dua bulan lebih yang sudah berlalu telah berhasil menyapu beberapa hal lama dan secara bersamaan membawa beberapa hal baru. Di antara perubahan yang ada ialah, kepergian Nanta kakaknya yang benar-benar melanjutkan studinya di luar negeri hampir sebulan yang lalu jika dihitung dari waktu keberangkatan nya. Lantas disusul keberangkatan Nalendra yang tak sampai selisih seminggu lamanya.
Tentang kepergian Nalendra pun bisa dikatakan terlalu mendadak sebab ia mengetahui hal tersebut di tiga hari sebelum keberangkatan. Mungkin hanya bagi dirinya, sebab rupanya ayahnya saja sudah mengetahui hal tersebut jauh-jauh hari. Memang disengaja katanya, tapi entah apa tujuannya. Yang jelas hubungannya dengan kedua kakaknya baik-baik saja.
Nanta masihlah menjadi sosok yang tak pernah absen menghubunginya meski hanya sekadar mengirimkan pesan singkat menanyakan kabar. Sedang berusaha beradaptasi untuk menahan rindu yang akan ia simpan dulu katanya. Sementara Nalendra, kakaknya itu sempat dua kali menghubunginya terhitung sejak tiga minggu kakaknya itu di sana. Hal yang cukup baik mengingat jika dulu ia tak pernah berkomunikasi dengan Nalendra jika bukan karena hal tertentu.
Dengan Oma, tak ada yang banyak berubah. Tapi kalau ia tidak salah menangkap, Oma memang menjadi sedikit lebih halus ketika berbicara dengannya. Yang justru mengejutkan adalah bagaimana cara Oma bersikap dan berbicara dengan mama yang berbanding terbalik dari yang ia amati pertamakali. Ia tak menyangka jika hubungan Oma dengan mama akan membaik secepat itu. Yang jelas dari kunjungan terakhir di rumah Tante Lita sebulan yang lalu, ia bisa memahami maksud Oma agar kedua orang tuanya kembali rujuk. Dan tentu saja secara tak langsung ayah melibatkan namanya untuk menjawab hal tersebut.
Tak begitu banyak yang berubah dari ayah. Baginya, ayah tetaplah sosok yang tegas. Meski untuk sekarang ada saat-saat dimana ayah akan meluangkan waktu untuk mengobrol ringan atau justru diskusi serius, seperti tentang beberapa hal yang berhubungan dengan rencana studinya nanti. Hampir tak ada candaan yang mengalir sebab siapapun pasti akan menilai jika jokes ayah begitu garing, susah untuk dinikmati. Kata yang lainnya, ia dan ayah sejujurnya sama-sama kaku. Hal yang membuat tertawa dan lucu hanyalah nyanyian sepi yang muncul kala jokes yang dilayangkan ayah atau ia sendiri sedang diproses dalam jeda.
Hal yang berubah cukup banyak adalah dari mama. Entah hanya penilaian atau memang aslinya, ia menemukan hal yang mengganjal untuknya. Sejak keputusannya waktu itu, mama beberapa kali masih menjemputnya pulang dari sekolah, sekalian menjemput Kak Lendra katanya. Terhitung sebanyak tiga kali mama menawarkan atau lebih tepat disebut mengajaknya untuk mampir di rumah mama lebih dulu. Sebenarnya bukan mampir mengingat jarak dari sekolah ke rumah mama juga hampir sama dari sekolah ke rumah ayah. Ia pun juga tak pernah menolaknya dan memanfaatkan hal tersebut untuk membantu Nalendra menyiapkan beberapa keperluan yang akan dibawa. Namun, sejak terakhir kali ia ikut mengantarkan kakaknya ke bandara, ia belum pernah lagi bertemu dengan mama. Ralat, ia pernah tak sengaja bertemu dengan mama di perpustakaan kota. Sekali hanya itu. Ia masih mengingat wajah mama yang terkejut sesaat lalu tersenyum sembari mengelus lembut pipinya. Hanya pertemuan singkat sebab setelahnya mama mengucap maaf sebab harus segera pergi ke acara seminar.
"Kapan-kapan hunting buku sama mama, ya. Kalau kamu punya waktu luang, main ke rumah."
Kini, baru terpikirkan jika dulu mama kerap kali mengirimkan pesan meski hanya berupa pertanyaan klise yang singkat, hampir di setiap harinya. Tapi sekarang, room chat dengan mama nampak kosong lebih dari tiga minggu lamanya. Dua buah kata yang sudah terketik ia hapus segera. Bukan jari-jari tangannya yang kini bergerak, melainkan langkah kakinya.
***
Sudah lebih dari tiga minggu, ya Ladisha jelas menyadarinya. Tiga minggu yang ada benar-benar ia gunakan untuk merenung, meski kenyataan yang ada lebih mengarah kepada bagaimana wanita itu terus mengkritisi dan menyalahkan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...