Delapan

33.3K 2K 14
                                    

"Apa saham kita terus turun?" Pertanyaan dari pria tua yang kini tengah duduk di ruang tengah dengan secangkir teh di depannya menatap anak menantunya serius.

"Benar, Pa. Kita harus bergerak cepat jika tidak ingin perusahaan kita tercium oleh para investor." Jawabnya yang semakin membuat wajah tua lawan bicara nya nampak redup.

"Ya. Papa juga memikirkan semua itu. Karna itu papa memanggilmu untuk datang kemari." Sejenak mereka mengangguk serentak.

"Jangan sampai para investor mencium perusahaan kita yang hampir bangkrut karena masalah akhir-akhir ini. Bisa-bisa mereka menarik semua suntikan dana di perusahaan kita jika sampai itu terjadi."

"Ya, Pa. Dan hanya keluarga Sincler yang bisa membantu kita. Mereka pasti sanggup untuk menopang perusahaan kita, hingga bisa kembali stabil."

Obrolan singkat dua pria itu terhenti begitu mendengar suara seseorang yang masuk ke dalam. Hingga perhatian mereka pun teralihkan sepenuhnya. Dua orang wanita berbeda usia melangkah masuk kedalam rumah. Dengan beberapa paper bag di tanganya. Melangkah anggun kearah dua pria yang tengah duduk di sofa ruang tengah dengan pandangan menatap kearahnya.

"Papa juga ada di sini?" Pertanyaan bernada semangat dari wanita cantik mengundang anggukan kepala setuju.

"Ha, Nak, bagaimana harimu kali ini?"

"Gisella sangat happy papa. Papa tau tadi aku bertemu dengan siapa?" Balas Gisella semangat, mencium pipi papanya sekilas baru kakeknya Addison Wesley.

Lalu melempar tubuhnya duduk dikursi sofa di samping papanya. Bersiap menceritakan apa pun yang dia alami hari ini.

"Siapa? Putra keluarga Sincler?" Tanya Steve yang merasa penasaran dengan ucapan putrinya. Dari nada suaranya semua orang bisa menebak jika Steve saat ini begitu penasaran.

"Bukan." Geleng Gisella cepat.

Mendapatkan gelengan dari putrinya tidak lagi menarik minat Steve. Dia sudah merasa enggan menanggapinya. Dia hanya memasang wajah malas yang begitu ketara.

Tidak ada yang menarik minatnya kecuali keluarga Sincler.

"Kiara dan calon suaminya." Lanjutnya menjelaskan. Yang semakin tidak membuat papanya tertarik.

"Kamu bertemu dengan Kiara?" Ulang Addison yang sedari tadi memperhatikan interaksi cucu dan menantunya.

"Bukankah kamu sering bertemu dengannya? Lalu apa masalahnya?" Dengan santai Steve menanggapinya. Tangannya mulai sibuk meraih cangkir, menyesap perlahan.

"Ya memang. Tapi hari ini pengecualian, papa tau hari ini mereka membeli cincin pernikahan." Adu Gisella sedikit antusias.

"Jadi dia benar-benar akan menikah dengan pria itu?" Balas Steve tanpa minat.

"Iya. Mama padahal sudah menjelaskan padanya. Tapi sepertinya dia benar-benar bebal. Sampai tidak mau mendengarkan saran mama." Margareth ikut menimpali. Menjawab pertanyaan dari menantu yang selalu dia bangga-banggakan.

"Sudahlah, Ma. Mama tidak perlu memikirkan semua itu. Lebih baik kita abaikan saja dia. Aku yakin dia juga sama saja dengan Derren."

"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Tambahnya melanjutkan.

"Sama-sama miskin dan rendahan." Gisella pun ikut-ikutan memberikan tanggapan.

Semua orang mengangguk setuju, kecuali Addison.

"Memangnya kalian bertemu di mana?"

"Di toko Tiffany."

"Tiffany?" Ulang Steve yang terdengar tidak percaya. Kepalanya menoleh sepenuhnya kearah Gisella. 

Marriage Proposal(SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang