Dua puluh tiga

32K 1.7K 7
                                    

Aiden membenarkan letak kaca matanya, berulang kali memijit pelipisnya yang terasa nyeri.  Bersandar di sandaran kursi, sesekali ekor matanya melirik kearah depan. Dimana salah satu  karyawannya menjelaskan.

Meeting hari ini berjalan alot. Aiden sendiri pun sedikit kesulitan mengembalikan moodnya. Moodnya benar-benar hancur dua hari terakhir ini.  Hingga apapun permasalah perusahaan yang coba di jelaskan oleh satu-satu karyawannya sama sekali tidak ada yang bisa Aiden terima. Dia hanya diam mendengarkan.

Tapi otak dan pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Aiden yakin seratus persen, jika karyawannya ada yang bertanya bagaimana tanggapan Aiden, Aiden sudah pasti hanya mendelik tidak suka. Hingga tidak ada satupun karyawan yang berani bertanya padanya sedari tadi. 

Setelah kejadian dua hari yang lalu, sebisa mungkin Aiden menahan amarahnya. Tidak ingin kembali membuat masalah semakin runyam. Dia hanya menghela nafas panjang begitu perasaannya sudah merasa kesal. Dan sejauh ini semua itu berhasil. Dan Aiden bisa mengendalikan dirinya. Tapi hanya dalam waktu dua hari ini.

Dan selama dua hari pula Aiden tidak menampakkan batang hidungnya di rumahnya. Dia hanya memantau Kiara lewat cctv. Atau bertanya pada Tomi jika dia datang mengunjungi rumahnya. Mengecek keadaan Kiara. Atau pada kepala pelayan Erna yang setiap harinya menemani Kiara.

Sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak bertemu dengan Kiara, berharap nanti Kiara dapat melupakan kejadian beberapa hari lalu. Dan mereka bisa bersikap biasa-biasa saja.

Demi apapun Aiden belum siap jika harus menceritakan semuanya pada Kiara, tidak sebelum dia mendapatkan bayinya. Karna jelas Kiara tidak akan bisa menerima masa lalunya yang mengerikan jika saja dia mengetahuinya.

Lamunan Aiden buyar begitu mendengar dering ponselnya. Begitu pun seisi ruangan yang kini menatap kearah Aiden dengan wajah penasaran. Fokus mereka teralihkan ketika mendengar dering ponsel sang atasan.

Melirik layar ponselnya, kening Aiden mengernyit begitu melihat siapa yang menghubunginya. Berdehem cukup keras Aiden buru-buru mengangkat panggilan di ponselnya dengan sedikit menjauh.

"Maaf, meeting kali ini kita tunda dulu. Saya ada kepentingan mendesak." Tanpa menunggu jawaban dari seluruh orang di ruangan. Aiden pun keluar ruangan. Berjalan sedikit tergesa-gesa kearah lift.

"Tuan?" Gerakan tangan Aiden yang memencet lift terhenti. Menoleh kebelakang. Aiden menemukan Tomi yang berlari tergopoh-gopoh ke arahnya. Lengkap dengan wajah panik yang begitu ketara.

"Ada apa, Tomi?" Tanya Aiden dengan nada suara malas yang begitu ketara. Tangannya pun kembali terulur menekan tombol lift. Yang akan membawanya turun ke lantai satu.

"Anda ingin pergi, tuan?" Tanya Tomi balik.

Aiden hanya melempar lirikan mata sekilas ke arah Tomi. Sama sekali tidak menyahut. Dia sedang buru-buru kali ini. Dan asistennya malah menahan-nahannya.

"Meeting kita sebentar lagi akan selesai, tuan. Dan kita tidak bisa pergi begitu saja. Bukankah anda mengatakan jika anda ingin membuat kejutan pada seseorang?" Sambung Tomi mengingatkan Aiden perihal tujuan awalnya.

"Kalau begitu kamu bisakan menggantikan saya?" Dengan gesit Aiden masuk kedalam lift. Tomi menatap Aiden tak percaya, disaat kondisi seperti ini. Aiden malah bertanya padanya dengan santainya.

"Tuan--"

"Kamu bisa menghandle meeting seperti biasa. Saya ada urusan yang lebih penting." Tanpa menunggu persetujuan Tomi karna kata-katanya, Aiden pun melenggang pergi dengan lift.

Ting

Pintu lift tertutup. Meninggalkan Tomi yang menatap pintu lift tidak percaya. Perlakuan bosnya dari hari ke hari semakin aneh dan memprihatinkan. Hingga Tomi yang akan menjadi imbasnya, menyelesaikan semua masalah yang di lakukan bosnya.

Marriage Proposal(SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang