Delapan belas

28.7K 1.7K 6
                                    

Aiden menatap dinding kaca yang mengarah pada sebuah bangunan-bangunan tinggi pencakar langit di depannya.

Pikirannya kalut, ada banyak hal yang terasa berat di kepalanya. Akhir-akhir ini, dia mengalami banyak hal yang sulit di jelaskan. Dan perasaannya pun berkhianat untuk mengakuinya.

Pernikahan semakin dekat, namun bukanya senang Aiden malah merasa semakin tertekan dan takut. Tetapi, dia berusaha tetap berpikir rasional.

Menarik nafas panjang guna mengurangi rasa sesak di rongga dada, akhirnya Aiden pun meraih telepon di atas meja. Menghubungi asistennya dengan cepat. Dia butuh pengalihan.

"Tomi, ke ruanganku, sekarang!" Perintah Aiden terdengar begitu otoriter seperti biasa. Dan tanpa membantah Tomi pun menyetujuinya.

Tak berapa lama suara pintu di ketuk disusul langkah kaki mendekat, membuat Aiden meliriknya sekilas. Sebelum kembali sibuk dengan pikirannya lagi.

"Ada yang bisa saya bantu, tuan?" Tanya Tomi begitu dia sampai di ruangan Aiden. Dengan Aiden yang berdiri memunggunginya. Menghadap dinding kaca yang memamerkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit.

Aiden tidak menyahut untuk beberapa saat, hanya helaan nafas berat yang terdengar dari bibirnya.

Mau tidak mau membuat Tomi ikut merasa cemas dengan respon tuannya. Karna jika seperti itu mungkin tuannya tengah banyak pikiran.

"Aku punya tugas untukmu, Tomi." Jawab Aiden tanpa menoleh. Tatapan masih sibuk menatap gedung-gedung di depannya.

Namun dari ekor matanya, Aiden melirik asistennya yang kini terlihat menunggu kelanjutan kata-kata nya.

Dari wajah Tomi, Aiden tau jika saat ini dia tengah mencemaskan Aiden. Namun, dia seolah tidak tau.

"Anda butuh sesuatu, tuan?" Tanya Tomi sopan namun Aiden tak kunjung membuka suara. Dia masih terus menatap kedepan.

Sampai dia pun memutar tubuhnya, menatap Tomi yang kini juga tengah menatap ke arahnya.

Hingga dengan jelas Tomi bisa melihat wajah Aiden yang terlihat lebih kusut dari biasanya.

"Aku ingin kamu memesan gedung hotel Venus untuk acara pernikahanku." Sejenak Tomi hanya mengangguk patuh. Masih menunggu apa yang akan Aiden katakan setelahnya.

"Jika perlu katakan pada mereka aku mau hotel itu kosong dalam waktu dekat ini. Jangan menerima pesanan dari siapa pun. Aku ingin mereka mempersiapkan pernikahanku dengan matang." Nada berat dan tegas keluar dari bibir Aiden.

"Baik, tuan." Tomi mengangguk mengerti. Tau jika Aiden pasti tidak ingin di bantah. "Ada lagi, tuan?"

"Siang ini aku ingin mengunjungi hotel Venus dengan Kiara. Kami ingin melihat secara langsung gedung hotelnya. Aku ingin hari ini kamu khusus memboking hotel itu. Jangan biarkan siapa pun masuk kesana, apalagi untuk masalah tidak penting. Aku terlalu malas untuk berbasa-basi."

Jika Aiden sudah mengatakan kata malas berbasa-basi, itu artinya mood bosnya sedang dalam mode tidak baik-baik saja. Hingga Tomi harus segera melakukan sesuatu jika tidak ingin membuat mood Aiden tambah hancur.  "Baik, tuan."

Setelah mendengar jawaban Tomi, Aiden mengangguk puas, memberi isyarat kepada Tomi kalau dia sudah bisa keluar. Dan dia tidak ingin di ganggu.

Menghela nafas panjang, Aiden meraih ponselnya. Berniat menghubungi Kiara. Namun, gerakannya terhenti begitu nama ibunya tertera di layar ponsel. Hingga mau tidak mau Aiden pun harus mengangkatnya jika tidak ingin terkena masalah.

"Hallo, mom?" Sapa Aiden sedikit malas begitu dia menempelkan ponsel di telinganya.

"Hari ini kamu ada janji, sayang?" Suara Anne terdengar begitu semangat menyapanya.

Marriage Proposal(SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang