"Kamu tidak berniat menerima lamaran pria miskin itu kan, Kinanti?" Tanya Margaretha di suatu pagi. Di kediamannya.
Pagi ini, Margaretha Wesley memanggil putri bungsunya, Kinanti Wesley untuk datang ke rumahnya.
Bukan tanpa alasan dia memanggil Kinanti, yang mana sangat jarang datang ke rumahnya setelah menikah.
Dan mereka juga tak sedekat dulu, layaknya putri dan anak. Lebih banyak perdebatan dibandingkan obrolan hangat seperti dulu.Saat ini mereka sarapan pagi disebuah taman belakang, yang nampak asri dengan pepohonan disekitar dengan banyaknya menu sarapan seperti biasa. Margaretha duduk berhadapan dengan Kinanti. Meski tanganya sibuk dengan pisau dan garpu, sesekali matanya masih melirik ke arah Kinanti yang tampak enggan menatapnya di depannya.
Entah menu sarapannya yang kurang cocok dengan lidah Kinanti, atau karna suasananya. Margaretha pun tak ingin tau lebih banyak, juga tak peduli lebih tepatnya.
Setelah Kinanti menikah dengan pria biasa yang menjabat sebagai manager di salah satu perusahaan. Margaretha berubah enggan berbicara dengan Kinanti, dia merasa putrinya ini terlalu pembangkang. Karna menolak banyak pria kaya demi seorang pria rendahan. Dan Margaretha tidak bisa menerima semua itu.
"Entahlah, sedang Kinanti pikirkan." Jawab Kinanti kalem. Tidak peduli dengan tatapan mata mamanya yang nampak menajam."Pikirkan? Apa lagi yang harus kamu pikirkan?" Tanya Margaretha menghentikan gerakan tanganya di atas piring. Tatapannya sudah menghumus tajam.
"Lebih baik kamu tolak lamaran itu. Mama nggak mau menambah malu memiliki cucu menantu dari kalangan rendahan." Sambungnya tak ingin di bantah.
Namun Margaretha lupa jika putrinya sudah banyak berubah, hingga terguran yang sering Margaretha dengar kembali di layangkan Kinanti.
"Ma."
"Kalau Kiara tidak bisa mencari calon suami, lebih baik mama yang akan mencarikannya. Meski mama tidak terlalu menyukai putrimu itu. Yang notabennya keturunan rendahan, tapi mama tidak mau keluarga kita menanggung malu untuk kedua kalinya karna pilihannya." Lanjut Margaretha tanpa perasaan. Mengabaikan wajah Kinanti yang kian mendung.
Kinanti tersenyum patah mendengar tuturan mamanya. Tak menyangka jika mamanya akan berbicara begitu tentang putrinya.Meski Kinanti sering mendengar semua itu dari mamanya tentang status putri dan suaminya. Tapi tetap saja Kinanti merasa marah. Tidak terima. Ibu mana yang mau mendengar orang lain menghina putrinya, sekali pun itu ibunya sendiri?
"Mama tidak berubah." Komentar Kinanti tiba-tiba. Tidak bisa menutupi nada kecewa dari suaranya.
"Mama tidak peduli bagaimana pandanganmu tentang mama. Tapi yang jelas, mama tidak suka jika sampai dia menjadi keluarga Wesley. Kamu tau kan reputasi keluarga kita?"
Kinanti membungkam bibirnya, tanganya yang tadi tampak sibuk dengan sendok dan garpu pun berhenti. Meletakkannya, tak lagi berniat menikmati sarapan pagi yang disuguhkan ibunya pagi ini.
Karna selera makannya pun sudah menguar. Rumah yang terasa nyaman untuknya di waktu kecil, kini berubah seperti di neraka. Terasa panas, membakar hati.
"Harusnya Kiara itu mencontoh Gisella. Dia selalu punya pilihan yang tepat, termasuk calon suami sekali pun." Lanjut Margaretha yang semakin menghilangkan selera makan Kinanti.
Ya, keluarganya memang selalu membanggakan Putri dari kakaknya, Diana. Wanita yang menikah dengan salah satu pembisnis hebat di masanya dulu.
Berbeda dengan dirinya, tapi Kinanti tidak pernah menyesal sekali pun. Dia malah puas bisa menikah dengan Derren. Pria manis penuh cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Proposal(SELESAI)
RomanceDicaci maki keluarga, direndahkan, digunjingkan-- Kiara sudah merasakan semua itu bertahun-tahun. Bahkan lebih parahnya dia pernah tak dianggap oleh keluarga mamanya lantaran dianggap sebagai cucu yang tak berkompeten. Apapun yang dia lakukan selalu...