Empat belas

32.2K 1.9K 16
                                    


"Ma." Protes Kiara begitu lenganya di tarik paksa oleh mamanya, Kinanti. Menjauh dari kumpulan keluarganya yang saat ini tengah menatap mereka penuh penasaran.

Sedang Margaretha tampak diam menatap kotak di tanganya, mengikuti kata hati. Akhirnya Kinanti pun menarik Kiara untuk menjauh sebelum menjadi amukan mamanya. Dan dipermalukan oleh seluruh keluarga seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Seharusnya mama nggak percaya sama kamu, Kiara. Bagaimana mungkin kamu melakukan hal seperti ini?" Omel Kinanti tandang aling-aling. "Lagi?" Dengus Kinanti yang merasa frustasi luar biasa.

"Kamu tidak bisa belajar dari pengalaman kamu sebelumnya? Bagaimana mungkin kamu melakukan kesalahan ini lagi?" Lanjutnya kian terdengar frustasi. Bahkan wajah Kinanti kini tampak memerah siap meledak kapan saja. Melampiaskan kekesalannya kepada putrinya.

"Maksud mama apa? Kiara nggak ngerti?" Kinanti mendengus, menatap tajam putri tunggalnya yang kini malah berpura-pura bodoh. Padahal dia jelas-jelas dia tau kemana arah pembicaraan mereka.

"Jangan pura-pura bodoh, Kiara. Kamu jelas tau maksud mama sekarang!" Seru Kinanti tajam. Yang membuat Kiara menghela nafas panjang.

"Ma, ini bukan kesalahan Kiara." Protes Kiara berusaha menjelaskan.

Wajahnya pun tak kalah frustasi, bahkan kini tampak cemas. Menyesal karna perbuatannya kali ini.

"Bukan kesalahanmu gimana? Jelas-jelas kamu yang membeli kado itu!" Omel Kinanti yang sama sekali tak terpengaruh dengan wajah frustasi Kiara.

"Seharusnya mama sudah menduga, jika kamu juga akan melakukan hal konyol seperti ini. Mama kira kamu bisa berpikir lebih rasional, Kiara!"

"Mama kira selama ini Kiara gila? Sampai nggak bisa berpikir rasional?" Tanya Kiara terdengar tak percaya.

Kinanti semakin menatap tajam putrinya, membuat Kiara semakin mendesah serba-salah. "Kamu kira lukisan dan kursi pijat itu adalah kado yang bisa membuat kamu terlihat sehat di depan nenekmu? Terutama keluarga besar kita? Iya?!"

Kinanti meringis pelan, namun wajahnya tak merasa bersalah sedikit pun. "Ma, wajar kalau Kiara milih itu. Kan nenek suka marah-marah. Jadi kursi itu bermanfaat untuk kesehatan nenek setelah marah-marah. Dan itu bisa membuat nenek merasa rileks, Ma." Kinanti mendengus tidak percaya dengan ucapan tak masuk akal putrinya.

Tatapan mata Kinanti pun semakin menghunus tajam, menatap Kiara yang kini menatapnya memelas. "Dan soal kado malam ini, Kiara berani bersumpah kalau Kiara nggak tau apa-apa, Ma."

"Nggak tau apa-apa gimana? Kamu bahkan yang membelinya, Kiara! Bagaimana mungkin kamu tidak mau mengakuinya?" Kinanti memijit pelipisnya kuat-kuat, berusaha mereda nyerinya yang mendadak kambuh karna sikap putrinya.

Demi apapun, dia benar-benar tidak siap jika harus mendapat amukan ibu dan keluarganya kali ini. Dan dia yakin jika sampai itu terjadi kakaknya pasti semakin gencar menyudutkannya. Menghinanya habis-habisan.

"Sekarang jawab jujur, kado apa yang kamu beli untuk nenek? Bagaimana mungkin wajah nenek tadi berubah syok seperti itu?" Kiara menggeleng pelan.

"Kiara?" Tegur Kinanti semakin kesal. Bukan gelengan yang dia mau, tapi jawaban.

"Kiara benar-benar nggak tau, ma. Karna bukan Kiara yang membelinya." Seru Kiara yang masih kekeh dengan pendiriannya. Jika bukan dia yang membeli kado itu.

"Maksud kamu?"

"Iya, jadi Aiden yang membeli kado itu." Cicit Kiara pelan. Dan kini membuat tubuh Kinanti terasa lemas bukan main.

"Aiden?" Pekik Kinanti tak percaya.

"Karna kemarin Aiden membelikan Kiara cincin yang sangat indah. Kiara kira Aiden juga bisa memilihkan kado untuk nenek." Seloroh Kiara cepat. Menjelaskan maksud awalnya. Takut jika mamanya semakin murka padanya.

Marriage Proposal(SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang