"KAMU ITU GAK BERGUNA! SEHARUSNYA KAMU GAK ADA DI DUNIA DENGAN BEGITU ISTRI SAYA PASTI MASIH HIDUP! AAARRRRGGGHHHH!"
BUGH
BUGH
BUGHTeriakan dari lelaki paruh baya tersebut terdengar jelas di dalam sebuah rumah sederhana. Lelaki tersebut tampak memukuli seorang gadis berusia 15 tahun yang adalah putrinya sendiri dengan kejam.
Sedang sang putri, Renesya atau yang biasa dipanggil Esya, hanya bisa pasrah dengan senyum sendu menatap sang ayah yang tak berhenti memukulinya dengan brutal karena pengaruh alkohol.
Tanpa belas kasih sedikit pun, lelaki tersebut menyeret Esya dengan kasar menuju ke arah kamar mandi. Dilemparnya kasar tubuh Esya yang sudah terluka ke dalam kamar mandi itu.
Lelaki paruh baya tersebut pun langsung mengguyur tubuh Esya yang masih terbalut seragam SMA. Rasa dingin menerpa tubuh mungilnya, seakan-akan dapat membekukan tubuhnya.
Sekilas dapat Esya lihat presensi sang Abang yang hanya lewat tak peduli. Esya hanya dapat berharap bahwa Abangnya tersebut memiliki sedikit saja rasa kasihan padanya, kali ini saja.
Tubuh Esya tersentak kala air dingin kembali mengguyur seluruh tubuhnya dari atas kepala. Siapa lagi kalau bukan sang ayah, pelaku yang kedua kalinya mengguyur tubuhnya itu.
Setelah mengguyur tubuh Esya yang kedua kalinya, sang Ayah pun langsung keluar dari kamar mandi dan mengunci pintu kamar mandi tersebut dari luar tanpa peduli bahwa putrinya bisa saja mati kedinginan.
Senyum miris terukir jelas di bibir Esya yang terluka cukup parah itu. Esya pun meludah saat merasakan rasa amis di mulutnya.
Ludahan Esya tadi tentunya adalah darah yang berasal dari gusi juga giginya yang terluka, kemungkinan besar karena luka pukulan dari ayahnya sendiri tadi.
Kembali senyum pedih terukir dari bibir Esya yang mulai membiru. Esya sedang meratapi nasibnya yang harus hidup tanpa kasih sayang keluarga.
Pancaran penuh putus asa itu kini hadir di kedua mata yang selama ini penuh binar. Cahaya hidupnya meredup seiring keputus asaan meluap di dirinya.
Esya melihat ke arah cermin yang melekat apik di dinding. Sekejap sebuah ide gila hadir di benaknya.
Ah, bagaimana kalau kupecahkan saja cermin itu.
Tanpa pikir panjang, Esya langsung saja memecahkan cermin itu dengan sikat gigi yang berada di pinggiran bak sebelah kanan tubuhnya.
PRAANG
Cermin itu pecah, Renesya tersenyum manis melihatnya meski beberapa serpihan kecil cermin tersebut hadir melukai tubuhnya yang kini bersandar di dinding dengan posisi duduk.
Dengan tangan kanannya, Esya mengambil salah satu kepingan pecahan cermin yang tajam. Digenggamnya erat pecahan cermin tersebut sampai melukai telapak tangannya.
SREET
Esya dengan kesadaran di awang-awang -karena kedinginan melukai pergelangan tangan kirinya sendiri, tepat di nadinya dengan penuh rasa keputus asaan. Darah mengalir dengan deras dari luka yang ia hasilkan itu.
Namun, luka tersebut tak sebanding dengan luka di dalam hatinya yang terbuka sangat lebar. Tetesan air mata mulai hadir membasahi pipi chubbynya.
BRAK
BRAK
BRAK"ESYA! BUKA PINTUNYA!"
Esya seperti berhalusinasi mendengar suara abangnya yang memanggil nama panggilannya setelah sekian lama.
BRAAK
Dengan sekali dobrakkan, Abang Esya, Dery, dapat membuka pintu yang terkunci tersebut. Dery terpaku di tempatnya, adik yang selama ini selalu ia acuhkan kini berada di depan matanya.
Tatapan yang dulu menatapnya binar, kini hanya terlihat keputus asaan. Senyuman manis yang selalu hadir, kini tergantikan dengan senyum miris. Tatapan Dery kini berganti ke pergelangan tangan kiri Esya.
Dery dengan tergesa menghampiri sang adik, ia melepas bajunya dan melilitkan baju itu ke pergelangan tangan kiri Esya. Ia berusaha menghentikan pendarahan itu.
Esya hanya bisa menatap abangnya dengan rasa kecewa tiada tara. Pergerakan Dery terhenti saat dirinya merasakan tangan dingin yang menempel di pipi kirinya.
Apakah karena ini akhirnya, tuhan baru mendengar harapan kecilnya tadi?
"Terlambat, Bang.....kenapa baru sekarang, Bang?" Lirihan Esya terdengar menyayat hati.
Dery terpaku pada kedua mata hazel dengan pancaran kecewa itu. Tanpa terasa, air mata mulai berjatuhan dari kedua mata Dery.
"G-gak, E-esya gak boleh nyerah. A-bang minta maaf, ok?" Ucap Dery tergugu masih mencoba menghentikan darah yang mengalir dari luka yang dibuat Esya sendiri.
"Abang tau Nafesya Alexandria Andreaxa?" Tanya Esya tiba-tiba.
Dery terpaku dalam hening, tentu dirinya tau tentang nama yang disebutkan sang adik. Salah satu tokoh novel yang baru-baru ini sangat terkenal di kalangan remaja. Dery mengangguk kaku.
"D-dia mati bunuh diri, Bang. Alasannya pun sama kayak aku." Lirih Esya menatap abangnya yang 2 tahun lebih tua darinya dengan pandangan sedikit memburam.
Dery kini menatap kembali kedua manik hazel itu dengan perasaan campur aduk, tentunya ia tau apa alasan yang disebutkan Esya.
"Depresi karena tak mendapat kasih sayang keluarga." Gumam lirih Dery yang masih didengar oleh Esya.
Esya tersenyum tulus ke arah Dery yang kini menyerah untuk menghentikan darah dari lukanya.
"Dia tokoh favorite aku, Bang. Sayangnya sikapnya cuek dingin. Kalau aku jadi dia, aku bakal tetep jadi Esya nya abang yang tersenyum manis." Kata Esya dengan lirih tak lupa senyum manisnya.
Dery langsung saja merengkuh tubuh Esya nya yang kini terlihat sangat lemah ke dalam pelukannya, berharap dapat menghangatkan tubuh adiknya yang mulai mendingin.
"T-tolong maafin gue, sya.....maafin abang, sya. A-abang buta selama ini. Ka-kamu maukan maafin a-bang?" Dery berujar lirih tepat di telinga kanan Esya.
Sayangnya tak ada lagi tanggapan dari Esya, beban tubuh Esya kini sepenuhnya berada di dekapan Dery. Tubuh Dery membeku atas pikiran di benaknya.
Esya, sang adik telah menutup mata untuk selamanya. Meninggalkannya yang masih menunggu maafnya diterima oleh sang adik.
Air mata mengalir deras di pipi Dery. Rasa bersalah dan rasa menyesal melingkupi Dery yang masih mendekap tubuh dingin tanpa nyawa itu.
Renesya Oktavio kini telah meninggalkan dunia yang hanya memberikan luka yang menganga lebar di hatinya, tanpa memberikannya obat.
Bullying di sekolah, dipandang remeh para guru, dihujat oleh para tetangga, tak diperdulikan oleh sang abang yang dulu sangat menyayanginya, menjadi pelampiasan sang ayah atas semua kesalahan yang tak pernah ia lakukan.
15 tahun hidup dengan berbagai luka bukanlah hal yang mudah baginya, jadi tak apa bukan untuk gadis dengan senyum ramah tersebut beristirahat?
Sayangnya kata-kata terakhir Renesya membuat dirinya harus menjalani kehidupan keduanya dengan berbagai rintangan yang hampir bahkan mirip sama seperti di kehidupannya dulu.
Benang takdir masih terbentang jauh untuk dirinya. Renesya Oktavio telah tiada, dan Nafesya Alexandria Andreaxa kini terlahir menjadi seorang yang baru.
TBC.
~♡~♡~♡~♡~♡~♡~♡~
Note :
Hai hai! Makasih banget buat yang udah baca sama mampir ke book pertama Sya. Maaf banget buat typo dan kekurangannya harap dimaklumi ya!Sya mau tau dong gimana tanggapan kalian tentang book pertama Sya ini?
Jangan lupa tinggalin jejak kalian, ya. Saling membantu gak ada salahnya ya, kan?
Sya harap book Sya ini bisa ngehibur kalian para pembaca.
❤❤❤ buat yang udah baca, heheh....
See u next!
KAMU SEDANG MEMBACA
Esya {end}
RandomRenesya, gadis dengan senyum ramah walau takdir mempermainkannya dengan berbagai luka dihati. Bertransmigrasi ke tubuh tokoh favoritenya dengan takdir yang tak jauh beda, apakah ia sanggup menjalaninya? Kejanggalan mulai terjadi, alur novel pun beru...