Elvano membuka matanya di pagi hari yang cerah ini. Sebagian wajah tampannya terpapar sinar matahari yang dengan lancangnya menerobos sela-sela kain penutup jendela di kamarnya.
Tanpa sadar senyum tipis terukir di wajahnya ketika ia kembali mengingat kejadian malam tadi. Dengan kesadaran yang sudah mulai terkumpul, Elvano melangkahkan kakinya menuju pintu dan membukanya perlahan.
Elvano berlari kecil menuruni tangga saat mencium bau harum dari arah dapur. Dengan semangat ia memeluk dari belakang seseorang yang kini sedang memasak untuk sarapan keluarganya.
"Pagi Esya." Sapa Elvano dengan suara paraunya tepat di telinga sang gadis.
"Pagi juga Bang El!" Sahut ceria Esya tanpa memberhentikan tangannya yang sedang memasak nasi goreng.
"Pagi-pagi dah masak aja." Ucap Elvano sambil menumpukan dagunya di bahu kanan Esya.
"Iyaaa. Dah lama kan kalian gak makan masakan Esya?" Esya menyahut dengan matanya yang melirik sekilas ke arah bahu kanannya.
"He em, kangen hehe." Jawab Elvano sembari tertawa kecil.
"EHEM!" Deheman keras dari arah belakang keduanya membuat Elvano juga Esya melihat ke arah belakang.
Dan disana terlihat Ren yang berjalan ke arah kulkas dengan tangan kananya menggenggam gelas kosong, tak lupa matanya yang melirik tajam ke arah Elvano.
"Kenapa, Kak?" Tanya Esya kini tanpa melihat ke arah Ren karena ia masih fokus memasak.
"Haus." Dan Ren hanya menjawab dengan satu kata.
Tangannya sibuk menuangkan air putih ke gelas kosongnya, tetapi tatapan matanya tak lepas dari kegiatan Elvano yang sedang bermanja ria pada adik bungsunya.
"Nah selesai!" Seru Esya setelah mematikan kompornya.
"Lepas dulu, Bang. Ayo siap-siap sarapan." Ucap Esya sembari menepuk pelan lengan Elvano yang masih setia memeluk perutnya.
"Kamu bangunin Ayah sama Al aja, Sya. Biar gue ma El yang nyiapin alat makannya." Ucap Ren tetiba dengan senyum tipisnya.
"Okey!" Setuju Esya sembari berlari kecil ke lantai dua.
"Ck, padahalkan gue masih mau peluk Esya." Gumam Elvano pelan yang tak dihiraukan si putra sulung Andreaxa.
Tok tok tok
"Ayah? Dah bangun belum?" Ucap Esya sedikit berteriak di depan pintu kamar ayahnya.
Dahinya mengernyit saat tak mendapati sahutan apapun dari dalam kamar ayahnya tersebut. "Masih tidur kah?" Gumam Esya pelan.
"Ayah? Esya masuk ya?" Ijin Esya, tangannya memutar knop pintu itu dan dengan pelan mendorongnya.
Gelap adalah pemandangan pertama yang menyapanya. Langkah kakinya menuju jendela dan tangannya dengan segera menyibak kain yang menutup rapat akses untuk sinar mentari menyambangi.
Dengan sinar mentari yang menerangi kamar tersebut, Esya dapat melihat jelas sang Ayah masih terlelap di atas kasur meski selimutnya telah jatuh ke lantai.
Esya menggelengkan kepalanya pelan, bibirnya tersenyum kecil dengan langkah yang membawanya mendekati ranjang queen size itu. Setelahnya Esya duduk di pinggir ranjang, tangan kanannya menepuk pelan perut Ayahnya.
"Ayah? Ayah? Ayo bangun!" Ucap Esya dengan nada cerianya, sebuah senyuman pun tak luntur dari wajahnya.
Matanya menelisik kamar Ayahnya yang terdekor rapi dan bernuansa monokrom. Hanya ada warna hitam dan putih, ah tidak. Tatapan matanya terpaku pada satu-satunya benda yang tak berwarna hitam maupun putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Esya {end}
De TodoRenesya, gadis dengan senyum ramah walau takdir mempermainkannya dengan berbagai luka dihati. Bertransmigrasi ke tubuh tokoh favoritenya dengan takdir yang tak jauh beda, apakah ia sanggup menjalaninya? Kejanggalan mulai terjadi, alur novel pun beru...