BAB 31

10.9K 671 2
                                    

"Hiks...hiks...hiks..."

Hujan nyatanya tak dapat merendam isak tangis gadis malang yang untuk kesekian kalinya tak dipercayai oleh anggota keluarganya sendiri.

Bisikan halus untuk lenyap dari dunia yang penuh tipu daya ini mengisi pendengaran sang gadis. Meringkuk di sebuah gang kumuh dengan baju pasien yang masih melekat basah di tubuhnya.

Hujan kian deras seakan semesta ikut bersedih mengetahui sang gadis kembali dipermainkan oleh takdir yang tak bisa dirinya putus. Bersabar adalah jalan satu-satunya yang harus ia lalui selain kembali memutus paksa benang takdir dengan cara bunuh diri.

Berusaha menghentikan tangisannya, mengusap kasar wajah cantik pucatnya. Menetralkan deru nafasnya yang tersenggal-senggal karena menangis selama 2 jam di bawah guyuran air hujan.

Pasti abis ini gue demam, Batin sang gadis sambil beranjak dari posisi duduknya.

Tak memperdulikan seluruh tubuhnya yang telah basah dan masih diguyur dengan bulir-bulir indah yang jatuh dari langit malam kelam.

Berjalan tertatih kala rasa pusing menyergap benaknya, tak lupa rasa perih di perutnya yang dapat dilihat mengeluarkan cairan kental amis berwarna merah.

Pasti jahitannya kebuka, begitulah pikirannya.

Sekali lagi ia tak peduli, setelah sampai di pinggir jalan, ia langsung menghentikan taksi yang akan melewatinya.

"Mau kemana, Non?" Tanya si sopir taksi.

"Jalan aja dulu, Pak. Masalahnya saya tuh kadang lupa ma alamat sendiri hehe."

Jawaban dengan kekehan kecil tersebut diangguki maklum oleh Pak sopir taksi. Taksi tersebut mulai melaju dengan sang gadis yang melihat ke luar jendela.

"Namanya siapa, Non?" Tanya Pak sopir taksi memecah keheningan.

"Okta, Pak." Jawaban singkat hadir dengan senyum manis sang gadis.

Gadis yang kita ketahui bernama Nafesya Alexandria Andreaxa tersebut, memilih menggunakan nama dulunya agar tak lagi dikenali orang.

Ia benar-benar berniat untuk kabur sekarang. Biarlah ia menjadi pengecut karena dirinya sudah kepalang lelah dengan semua ini. Bersikap baik-baik saja padahal dirinya tak pernah merasakan arti dari kalimat tersebut.

Di bukanya dompet yang ia kantongi bersama hp juga kunci milik Om Veka. Melihat adanya KTP Om Veka yang juga menunjukkan alamat rumah Om Veka.

"Ini Pak." Ujar Esya sembari menyerahkan KTP milik Om Veka pada Pak sopir.

"Mata saya minus jadi gak bisa bacanya. Itu KTP milik ayah saya yang ketinggalan di tas saya." Ujar Esya agar tak menimbulkan kecurigaan.

"Oalah, iya Non." Pak Sopir tersebut mengambil KTP Om Veka dan kembali fokus menyetir menuju alamat rumah yang tersemat di KTP tersebut.

"Non kok bisa basah kuyup gitu. Mana kayaknya pakai baju pasien deh." Ucap Pak sopir mulai kepo.

"Ini bukan baju pasien kok Pak. Ini tuh piyama tidur yang memang hampir sama kayak baju pasien, lagi nge trend jadi saya beli hehe." Jeda Esya dengan tampang inocent nya.

"Jadi, tadi tuh saya nginep di rumah temen. Dianterin ayah, eh malah dompetnya ketinggalan di saya. Nah, ayah saya nelfon suruh pulang katanya genting. Ya kan tanpa pikir panjang saya langsung lari aja keluar rumah temen. Masalahnya ayah saya nelfon gitu nadanya panik banget bikin saya cemas."

Cerita yang dikarang Esya mengalir dengan lancarnya. Sampai Pak sopir pun memilih percaya saja. Kini taksi tersebut berhenti di depan rumah sederhana bertingkat dua.

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang