BAB 12

13.3K 925 4
                                    

"Ma-maaf, Kak....E-esya gak sadar tadi, ya-udah ya. E-esya ke ka-kamar mandi dulu."

Ucap Esya segera sambil memalingkan wajahnya yang masih berlinang air mata. Esya berusaha untuk berdiri dengan tangan yang bertumpu pada pinggiran sofa.

Setelah berhasil berdiri, Esya kemudian melangkah menuju kamar mandi. Meninggalkan Ren yang melihat datar punggung bergetar Esya.

Setelah pintu kamar mandi tertutup rapat juga terkunci, tubuh Esya meluruh bersandar pada pintu kamar mandi tersebut.

Air mata semakin deras turun diiringi isakan kecil dari mulutnya, yang membuat kedua telapak tangan Esya menutup mulutnya tersebut untuk meredam suara isakannya.

Sedang di sofa, Ren mengusap wajahnya kasar. Di lihatnya sebuah selimut yang tadi menyelimuti dirinya, pasti gadis itu yang memberikannya. Mau siapa lagi emang?

Entah sebenarnya ada apa dengan dirinya sendiri. Di satu sisi dirinya merasa sangat benci kepada gadis yang memiliki marga sama dengan dirinya tersebut.

Namun, di sisi lain dirinya merasa nyaman saat gadis itu mengelus surai legamnya. Ia bisa merasakan kembali kehangatan seperti yang diberikan Bundanya.

Akan tetapi, Ren teringat bahwa Bundanya berpulang karena lebih memilih melahirkan bayi yang kini menjadi gadis berwajah sangat mirip dengan Bundanya.

Gak, gue benci sama dia. Gue benci sama Nafesya.

Batin Ren berteriak marah, matanya melirik ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

Ia mendengarnya, mendengar suara isakan yang berusaha direndam oleh Esya. Tetapi Ren berusaha untuk tak peduli.

Ren masih menjunjung tinggi ego-nya. Tanpa peduli suara isakan Esya, Ren melangkah pergi dari ruang rawat itu untuk memanggil Dokter Fyasa.

Sedang di dalam kamar mandi, Esya berusaha untuk berhenti menangis karena ia takut Ren curiga kalau dirinya terlalu lama di kamar mandi.

Esya kembali berdiri dengan bertumpu pada ujung wastafel. Ia membasuh mukanya, dapat Esya lihat pantulan wajahnya di cermin dengan mata sembabnya karena menangis.

"Kenapa lo jadi cengeng banget sih, hmm?"

"Ini tuh bukan lo banget, Sya. Lo itu kuat dan tetep tersenyum walau senyuman palsu sih."

"Seenggaknya orang lain gak tau kalau lo itu lagi sedih. So, ayo semangat. Ayo berjuang sampe batas akhir."

Dengan menatap bayangan wajahnya sendiri di cermin, Esya mengucapkan kalimat semangat. Beberapa kalimat semangat itu, Esya lontarkan untuk menyemangati dirinya sendiri.

Setelahnya, Esya pun memilih untuk keluar dari kamar mandi. Tubuhnya mulai melemas, mungkin tenaganya habis untuk menangis.

Ckleek

Saat pintu kamar mandi itu terbuka, bisa Esya lihat Dokter Fyasa melihat ke arahnya dengan senyum ramah yang terukir.

"Selamat malam, Dok. Malam ini aku boleh langsung pulang, Kan?" Ucap Esya dengan Ceria.

"Iya, boleh. Tapi nanti sampai rumah makan dulu baru istirahat, ya." Saran Dokter Fyasa sambil membantu Esya untuk duduk di pinggir ranjang pesakitan.

"Siap, Bu Dokter. Hehehehe." Kekehan Esya itu mengalun tanpa beban.

Dokter Fyasa tentu tau bahwasannya gadis yang kini sedang terkekeh manis di depannya pasti habis menangis, terlihat jelas dari kedua mata sang gadis yang sedikit sembab.

Sedang Ren yang sedari tadi duduk di sofa hanya bermain handphone tanpa peduli percakapan dua orang yang berada di dalam satu ruangan dengannya tersebut.

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang