BAB 30

11.7K 728 7
                                    

"Hei? Kamu oke, nak?" Ucapan lelaki paruh baya di hadapannya membuat aliran waktu Esya kembali berjalan.

"A-ah iya. O-om kenapa di sini?"

Esya meruntuki mulutnya yang mengeluarkan pertanyaan dan tentu membuatnya harus tetap berada di sini selama perbincangan.

"Yahhh, saya juga gak tau. Mungkin karena terlalu putus asa? Entahlah." Ucap Lelaki paruh baya masih sarat akan keraguan.

"Nama kamu siapa?" Tanya lelaki tersebut dengan senyum ramahnya.

Kayaknya baru pertama kali gue lihat senyuman ini, dan rasanya nyaman banget

"Nafesya, tapi panggil Esya aja Om. Nah, kalau Om sendiri namanya siapa?" Tanya Esya mencoba menutupi getar di suaranya.

"Saya Veka, omong-omong nama kamu hampir sama seperti nama putri saya." Ucap lelaki bernama Veka tersebut.

"Si-siapa nama a-anak Om Veka?" Tanya Esya kembali dengan nada getar di suaranya, menandakan dirinya tengah gugup.

"Renesya, Renesya Oktavio. Dia dulu juga suka sekali dipanggil Esya, sama seperti kamu." Om Veka tersenyum sendu kala berbicara.

"Dulu? Emang sekarang dia gak mau dipanggil Esya, Om?" Tanya Esya, ia menggigit bibir bawahnya.

"Hmmm, entah Om juga gak tau. Karena sekarang dia sudah berada jauh sekali dengan Om. Dia sudah meninggal." Ucapan Om Veka membuat jantung Esya serasa berhenti saat itu juga.

"Ka-kalau boleh tau, me-meninggalnya kenapa, Om?" Hei, tak tau kah dirinya kalau sudah keterlaluan menanyakan privasi seseorang?

"Leukimia. Dia meninggal tiga tahun yang lalu di rumah sakit ini. Yahh, dan sekarang Om harus kembali lagi ke sini karena Abangnya baru saja kecelakaan dan koma." Entah sadar atau tidak Om Veka ini membuka privasi atas keluarganya.

Hah! Sampai kapan takdir ini memberikanku begitu banyak kejutan?

"E-esya turut berduka cita ya, Om. Se-semoga putra Om cepet sadar dan sehat terus ya, Om." Ucap Esya sambil beranjak dari duduknya.

Ia tak ingin air mata yang di tahannya tumpah begitu saja di hadapan orang dengan wajah juga nama yang sama seperti ayahnya dulu, tetapi sifatnya sangat bertolak belaka.

"Nak, kalau saya titip Dery ke kamu boleh?"

Pertanyaan Om Veka membuat langkah Esya yang sudah berada tepat di depan pintu rooftop berhenti mendengar nama yang tak asing di telinganya.

"O-om sudah lelah sekali. Kalau kamu ingin tau, Om juga sedang sakit Leukimia stadium lanjut. Jadi, tidak ada harapan kan untuk Om?"

Esya berbalik dengan air mata mengalir di pipinya. Ia dapat melihat lelaki tersebut berdiri di pinggir pembatas rooftop. Om Veka berbalik menghadap Esya.

"O-om ja-jangan ma-macem-macem, wa-walau begitu se-seharusnya Om gak ngelakuin hal yang a-ada di be-benak Om sekarang." Ucap Esya terbata-bata dengan langkah pelan mendekati Om Veka.

"Ka-kamu tidak tau seberapa le-lelahnya Om."

Entah kenapa perkataan Om Veka menyulut sedikit amarah Esya. Namun, gadis itu masih mencoba sabar dan bertindak tenang.

"Om, pikirin Bang Dery. Anak Om itu lagi koma, dia pasti sedih banget pas bangun dan ayahnya malah pergi ninggalin dia." Ucap Esya masih mencoba melangkah mendekat.

"Kata dokter dia gak akan selamat, jadi tak usah pedulikan itu." Ucap Om Veka dengan senyum mirisnya.

"OM! Itu anak Om sendiri, harusnya Om percaya dia bakal bangun." Memang mental Esya belum sembuh membuatnya sangat sensitif dan akhirnya bersuara dengan nada marah dan sedikit kecewa.

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang