BAB 9

14.2K 981 2
                                    

Malam hari telah hadir di dunia ini, di meja makan sudah tertata rapi seluruh hidangan makanan yang lezat.

Empat orang lelaki juga sudah siap untuk melaksanakan makan malam, tinggal menunggu seorang gadis yang kini baru saja keluar dari kamarnya.

Tak tak tak

Suara sandal yang beradu dengan anak tangga menarik perhatian keempat orang yang berada di meja makan.

Ruang makan yang berada tak jauh dari ruang tengah memudahkan Esya untuk menuju ke ruang makan tersebut.

Dua orang yang masih asing di mata Esya nampak menahan nafas sejenak saat menatapnya.

Langkah Esya berhenti, memastikan penampilannya. Apakah ada yang aneh denganku? Begitulah pikiran Esya kini.

Baju biru tua berlengan panjang dengan tulisan 'My' di bagian dada kirinya dipadukan dengan celana pendek selutut berwarna abu-abu tua.

Surai bergelombang miliknya ia kucir bagian atasnya, bagian bawahnya ia sisakan tanpa mengucirnya. Dengan sedikit poni yang nampak menutupi dahinya, ini juga penampilannya dulu saat masih menjadi Renesya.

Kedua lelaki tadi pun tersadar dan segera memalingkan wajah dari Nafesya. Membuat Esya kebingungan sendiri.

"Duduk." Suara Al yang menyuruhnya duduk pun segera Esya turuti.

"Emm, Good Evening?" Sapa Esya ragu.

"Hmmm." Deheman dari tiga orang lain.

"Evening." Juga sahutan dari Elvano sudah cukup untuk Esya.

Makan malam tersebut pun berlangsung dengan keheningan. Sebenarnya di novel nya, pembicaraan diperbolehkan saat makan.

Namun tentu Esya merasa canggung apabila akan membuka suaranya terlebih dahulu, padahal dirinya bukanlah seseorang yang mampu menahan diri di suasana canggung seperti ini.

"Saya sudah tau semua tentang kamu."

Perkataan yang sedikit membingungkan itu membuat kernyitan tipis hadir di kening Esya.

Ini dia bicara ma siapa dah?

"Saya bicara dengan kamu, Nafesya."

Cenayang ya? Kok kayaknya dia bisa tau suara batin gue?

"Ya? Ma-maksudnya?" Bingung Esya dengan wajah terangkat melihat ke arah lelaki paruh baya yang duduk di ujung meja.

"Amnesia permanen. Saya Tuan Besar Andreaxa, Jeremy Devanka Andreaxa." Terang Lelaki tersebut.

Dia ngenalinnya 'Tuan Besar Andreaxa' bukan 'Ayah kamu'.....jelas banget dia gak mau jadi ayah gue. Tapi ini kan Esya, gue mah loss aja.

"Oke, Esya panggil Ayah Devan aja." Santai Esya.

Dapat Esya lihat wajah Ayah Devan yang mengernyit tak suka dari lirikan matanya. Namun, Esya tak tau bahwa kernyitan itu hadir karena Ayah Devan yang merasakan desiran aneh di hatinya saat mendengar kata 'Ayah Devan'.

"Kalau kakak ini siapa?" Kata Esya sambil melihat ke arah sampingnya.

Jadi posisi duduknya yaitu, Ayah Devan duduk di ujung meja. Abang kembaran duduk bersebelahan di sisi kanan Ayah Devan.

Sedang duduk di sisi Ayah Devan yang berjarak satu kursi yang ditempati oleh lelaki asing di matanya. Ia berhadapan dengan Abang El yang menatapnya dengan tatapan ketus.

"Renfix Ferno Andreaxa, sulung." Kata lelaki itu tanpa menatap Esya.

"Oke, Esya panggil Kak Ren aja." Ucap Esya dengan senyum ceria yang mengembang.

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang