BAB 35

10.7K 653 6
                                    

"Bagaimana?"

"Maaf, Tuan. Kami masih belum bisa melacak keberadaan Nona Nafesya. Hal ini juga disebabkan karena Nona sama sekali tidak membawa barang-barangnya. Kami juga belum bisa menemukan seorang gadis yang memiliki ciri-ciri seperti Nona Muda."

Hembusan nafas gusar terdengar dari pria paruh baya yang membelakangi bawahannya dan memilih melihat pemandangan perkotaan dari jendela besar ruang kerjanya yang berada di lantai teratas perusahaannya.

"Kau boleh pergi."

"Permisi, Tuan."

Ketika pintu ruangan ditutup dari luar, pria paruh baya yang tak lain adalah Ayah Devan tersebut duduk di kursi kebesarannya. Memijit pelan pelipisnya dengan matanya melirik ke arah sebuah foto seorang wanita yang terlihat cantik dengan balutan gaun selutut berwarna ungu.

"Kenapa suka sama warna ungu? Bukannya itu warna janda ya?"

"Ck, kenapa banyak banget yang tanya kayak gitu sih? Nih ya aku bilangin ke kamu, Mas. Warna ungu itu biasanya diartikan dengan keanggunan, lagipun warna ungu itu indah loh nyatanya warna ini masuk ke salah satu warna pelangi malah jadi warna penutup sendiri dari pelangi. Kalau menurut aku, pelangi itu menggambarkan adanya kebahagian di akhir kesedihan yang diumpamakan sama hujan. Kalau menurut kamu pelangi punya arti apa, Mas?"

Sekilas ingatan tentang sang wanita cantik di foto tersebut membuatnya tanpa sadar menarik kedua ujung bibirnya, membentuk kurva indah di wajah berkarismanya.

Namun, tatapannya kini berubah sendu kala dirinya teringat pesan terakhir dari mendiang Istrinya Andria. Dan sampai kini ia belum bisa memenuhi amanah yang diberikan padanya tersebut.

"Tolong sayangi putri kita ini sepenuh hati ya, Mas. Aku gak mau dia kekurangan kasih sayang, gak cuma dia tapi ketiga putra kita juga. Jaga dia seperti kamu jaga aku selama ini ya, Mas. I love you more than anything, and our daughter is that fourth proof of our love and also the last gift from me. Aku harap kamu bisa jaga hadiah terakhir aku ini, Nafesya Alexandria Andreaxa."

"Maaf....maafin aku Andria."

Dari dua hari lalu tepatnya sejak mengetahui bahwa Nafesya tak pernah sekalipun mendorong ataupun mencoba menyelakai pria paruh baya yang jatuh dari rooftop, rasa penyesalan menyelubungi hatinya.

Ia dan ketiga anaknya mengetahui hal ini setelah mendapat konfirmasi dari pihak Rumah Sakit bahwa ada cctv yang merekam seluruh kejadian dari awal Nafesya datang di rooftop sampai sang Pria yang diketahui bernama Veka memilih bunuh diri dengan cara terjun dari rooftop tersebut.

Saat mengetahui hal tersebut dirinya juga kedua anaknya Ren dan Al dirundung rasa bersalah yang amat besar, terutama Ren yang terakhir kali berbicara dengan Nafesya. Tak lupa Ren juga menuduh Nafesya sebagai pembunuh tanpa mendengar sama sekali penjelasan dari adik kandungnya tersebut.

Sedangkan El sejak malam dimana dirinya tau Nafesya kabur, adik kembar Al tersebut menjadi sangat pendiam dan penutup. Terkadang sulit untuk membedakan antara keduanya. Dirinya bahkan sangat ketara dalam menghindari Ren dan Ayahnya.

Semua bawahan miliknya, sudah Ayah Devan sebar untuk mencari sang Putri Bungsu. Tak hanya dirinya, ketiga putranya juga melakukan hal yang sama mencari sang gadis bernama Nafesya -yang entah pergi kemana bagaikan ditelan bumi dengan bantuan beberapa teman mereka juga.

Pertemuan dirinya dengan sang Istri di mimpinya tadi malam, membuat rasa gelisah dan bersalah menyerbak luas ke seluruh hatinya. Tak ada sapaan manis dan ceria yang dirinya dapatkan, akan tetapi malah sebuah suara isakan tangis sang Istri yang dari dulu tak pernah dirinya sukai.

Dan Ayah Devan merasa terpukul saat itu juga, ketika ia tau bahwasannya dirinya sendiri yang menjadi penyebab dari hadirnya Andria dengan tangisan juga tatapan mata kecewa padanya.

"Hiks.... hiks.... ka-kamu... hiks.... ja-jahat.... hiks.... tega-nya kamu.... hiks.... te-ganya ka-kamu Mas.... a-aku.... hiks.... ke-kecewa.... hiks.... sama.... hiks.... kamu..... Mas Devan..... hiks"

Mengingat kembali mimpi tersebut membuatnya frustrasi, berandai-andai dalam benaknya jikalau saja dari dulu dirinya dapat mengendalikan perasaannya dengan lebih baik dan menyayangi Nafesya sebagaimana mestinya pasti kejadian seperti sekarang ini takkan pernah terjadi.

Ckleek

"Ayah?"

Panggilan bernada tanya tersebut mampu membuat Ayah Devan mengangkat kepalanya dan menatap sendu putra sulungnya yang nampak tak kalah kacau dari dirinya sejak dua hari lalu.

"Kenapa, Ren?" Ayah Devan berdiri dari duduknya dan melangkah mendekat ke arah Ren yang berdiri di ambang pintu.

Setetes air mata mengalir begitu saja di pipi Ren, mata bermanik hazelnya melihat sang Ayah dengan tatapan bersalah. Tanpa pernah Ayah Devan duga, Ren jatuh berlutut di hadapannya dengan isak tangis yang mengisi pendengarannya dengan jelas dan tentu menyakitkan.

"Hiks.. aku.. minta.. hiks.. maaf.. Ayah.."

Ayah Devan menggeleng pelan kemudian berjongkok meraih tubuh Ren dan menenggelamkannya di dalam pelukan ayah yang hangat, mencoba menenangkan sang putra. Tanpa sadar dirinya juga meneteskan air mata kesedihannya.

"Ini bukan salah kamu, nak. Ini salah ayah yang terlalu buta selama ini tentang keadaan adik bungsu kamu."

"Ta-tapi aku juga hiks salah, yah. Aku gak percaya sama dia yah hiks."

"Kalau gitu kita semua salah sama Nafesya, Ren. Ayah, kamu, Al, bahkan El juga salah karena dari dulu terlalu mengacuhkan Nafesya. Karena itu ayo kita cari Nafesya, bahkan kalau harus kita cari sampai ke luar negeri untuk menemukannya agar kita dapat perbaiki semuanya, nak."

Ayah Devan dapat merasakan anggukan dari sang anak yang masih berada dalam pelukannya. Tak pernah dirinya melihat Ren serapuh ini setelah kepergian Bundanya.

Memang dari dulu Ren lebih dekat dengan sang Bunda dibandingkan kedua putra kembarnya yang lebih dekat dengan dirinya sebagai Ayah mereka.

Dan kini dirinya merasa sangat gagal menjadi Ayah untuk keempat anaknya, terutama untuk putri bungsunya. Dirinya tak pernah sekali pun menanyakan kabar sang putri, bahkan dirinya tak pernah berinisiatif untuk berbicara ataupun menyapa terlebih dahulu pada sang putri.

Semua karena dirinya terlalu terlena dengan duka yang menyelubungi. Dirinya tak tau harus marah kepada siapa saat kehilangan sosok wanita paling berharga setelah ibunya, berakhir melampiaskan segala amarahnya dan segala kekecewaanya kepada seorang bayi yang baru saja lahir dengan keadaan masih suci tanpa dosa.

Pada seorang bayi yang tak mengetahui apapun pada saat itu. Dan kini hal tersebut menjadi bumerang untuknya, juga untuk keluarganya. Berharap agar dirinya masih diberi kesempatan menjadi lebih baik lagi untuk keluarganya, terutama untuk sang putri bungsu.

Karena itu, dirinya tak akan menyerah untuk menemukan sang gadis yang kini tak ia ketahui keberadaannya. Ia percaya bahwa ada pelangi indah yang menunggunya setelah semua masalah ini selesai, seperti yang pernah dikatakan oleh Andria dulu.

TBC.

~♡~♡~♡~♡~♡~♡~♡~

Note :
Hailo! Gimana kabar kalian semua? Maaf banget Sya baru bisa up sekarang. Ini karena Sya baru-baru aja dapet suatu masalah. Untung dah selesai, jadi bisa up deh hehe...

Gimana sama bab ini? Sya harap kalian suka deh....

Maaf kalau ada typo yang tentunya gak Sya sengaja. Jadi, harap maklumi ya?

Jangan lupa buat selalu tinggalin jejak kalian di cerita ini ya!!!

❤❤❤ Buat yang udah baca dan tinggalin jejaknya di cerita pertama Sya ini! See U!!!

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang