BAB 28

11.7K 755 0
                                    

Sudah dua hari sejak Esya tertusuk pisau, sudah dua hari juga sikap Esya berubah drastis. Ia seakan kembali menjadi dirinya dulu, yang selalu menunjukkan ekspresi datar, tatapan tajam, juga aura dingin.

Esya kini masih dirawat di rumah sakit. Meski keadaan fisiknya mulai membaik tetapi mentalnya tidak, ia masih tertekan. Gadis tersebut hanya akan menanggapi perkataan atau pertanyaan dengan anggukan dan gelengan kepala.

Bahkan hal tersebut hanya berlaku pada Dokter Fyasa, Bi Kara, dan Lenci. Selain itu, ia hanya akan mengacuhkannya atau malah menatapnya dengan tajam. Seperti yang terjadi pada Ren, Alvano, juga Elvano saat ini.

"Kita bawa buah buat lo." Ucap Elvano sambil meletakkan bingkisan berupa buah-buahan ke atas nakas samping ranjang Esya.

Esya hanya melirik sekilas dan kembali menatap ke luar jendela kamar rawatnya. Dengan Esya memasang ekspresi datarnya, suasana di ruang rawat tersebut sangat terasa dinginnya.

Huufft

Helaan nafas terdengar dari Ren yang memilih duduk di sofa ruang rawat tersebut. Ia menatap Esya dengan lekat, lama-kelamaan hal tersebut membuat Esya risih.

Esya kemudian menatap Ren dengan tatapan tajamnya. Kenapa gue ngerasa sedih pas dia natap gue kayak gitu?, Batin Ren.

Esya kemudian memposisikan tubuhnya untuk tidur, ditariknya selimut untuk menutupi tubuhnya dari ujung kaki sampai leher. Gadis tersebut mencoba menutup matanya untuk mengabaikan keberadaan ketiga lelaki yang berada di dalam ruang rawatnya kini.

"Entah kenapa gue gak suka dia kayak gini." Lirihan dari Elvano nyatanya membuat Esya menahan nafasnya sejenak.

"Gue juga." Sahut suara datar milik Alvano.

Sedangkan Ren memilih beranjak dari duduknya dan pergi keluar ruangan. Entah kenapa dirinya merasakan sesak di dadanya saat di dalam ruang rawat Esya.

"Kak Ren tambah dingin aja perasaan." Gumam Elvano yang hanya bisa didengar olehnya saja.

Elvano melangkah menuju ke sofa untuk duduk di samping kakak kembarnya. Menutup matanya sejenak kala sebuah ingatan menghampirinya, membuat kepalanya sedikit pusing.

"Bukan urusan lo."

Matanya terbuka kembali menatap gundukan selimut di ranjang pesakitan. Kernyitan tipis hadir di dahinya menandakan pemuda tersebut sedang kebingungan, Alvano yang melihat adik kembarnya lebih merasa bingung.

"Lo kenapa?" Tanya Alvano pada sang adik kembar dengan kernyitan halus di dahinya.

"Gak papa." Lirih Elvano sebagai jawaban untuk Alvano.

"Lo gak bisa bohong sama gue, kita kembar kalau lo lupa." Sahut Alvano dengan wajah tak percaya pada jawaban Elvano tadi.

Elvano menghela nafasnya dan menggelengkan kepalanya pelan. Entah kenapa, dirinya juga tak mengerti alasan perasaannya yang gelisah ini.

"Lo gelisah." Ucap Alvano lagi, sungguh langka karena biasanya yang bicara banyak itu Elvano dan yang menyahuti dengan singkat adalah Alvano.

"Gue juga gak tau kenapa gue ngerasain hal ini." Ucap Elvano memijat pelipisnya pelan saat pening menerpa kepalanya, lagi.

"Pulang. Biar gue sama Kak Ren yang jaga dia." Ucap Alvano saat dirinya juga merasakan pening di kepalanya.

"Oke." Sahut singkat Elvano sambil beranjak dari duduknya.

"Mau gue anter?" Tawar Alvano ikut beranjak dari duduknya.

"Gak usah, gue naik taksi aja. Nih kunci mobilnya, Bang." Ucap Elvano sambil memberikan kunci mobil yang tadi berada di sakunya.

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang