BAB 32

10.5K 693 1
                                    

"GAK MUNGKIN!" Sentakan keras tersebut menggema di ruang keluarga Mansion Andreaxa.

"Gue gak percaya dia ngelakuin hal itu. Emang lo lihat secara langsung saat Esya dorong si korban?" Tanya Elvano dengan amarah yang mebumbung tinggi.

"Elvano sopan santun." Gertakan kecil ayahnya pun tak ia pedulikan.

Bagaimana ia tak terkejut saat tiga orang anggota keluarganya -yang seharusnya menemani sang adik di rumah sakit pulang begitu saja dengan muka tenang tanpa rasa bersalah duduk di sofa sebelahnya.

Saat dirinya meminta penjelasan ternyata adiknya, Nafesya kabur dari rumah sakit di malam yang tengah turun hujan deras. Itu pun gegara sang Kakak, Renfix menuduh Nafesya mendorong seorang lelaki dewasa seumuran Ayah Devan dari rooftop rumah sakit.

Dirinya sudah berjanji untuk berubah dan mulai menjalin tali persaudaraan dengan Nafesya, mengikrarkan janji untuk mulai menyayangi gadis tersebut kala sebuah mimpi menyambanginya tadi siang.

Mendengar cerita tersebut tentunya ia tak percaya. Di logika sajalah, bagaimana mungkin gadis yang sedang sakit seperti Nafesya dapat mendorong jatuh lelaki dewasa? Apalagi lelaki tersebut jatuh dengan badan terlentang menghadap ke atas.

Artinya sebelum jatuh lelaki tersebut menghadap ke arah Nafesya, kan? Kalau memang Nafesya mendorongnya, apakah lelaki tersebut tak melakukan perlawanan?

Lagi pun apakah tenaga Nafesya cukup kuat mendorong lelaki dewasa padahal tubuhnya masih lemas? Sungguh tak masuk akal bukan? Kecuali, lelaki tersebut memang melakukan bunuh diri dan menyebabkan Nafesya yang juga berada di rooftop menjadi seseorang yang dituduh dengan berbagai pemikiran negatif.

Dengan keras menggeleng tak percaya, ternyata memang keluarganya sudah benar-benar tak memiliki hati nurani. Bisa-bisanya mereka berfikir sangat gegabah seperti ini. Dikemanakan sebenarnya pemikiran dewasa dan pintar mereka saat ini?

Tanpa memikirkan keadaannya yang sedang sakit, Elvano mengambil kunci mobil di atas meja dan berjalan cepat ke garasi.

"Mau kemana?" Tanya Alvano dengan dahi mengernyit bingung.

Langkah Elvano terhenti sesaat. Tanpa membalikkan badannya, Elvano menjawab dengan nada datar, "Jemput adik gue."

Setelahnya pemuda tersebut melanjutkan langkahnya menuju garasi mansion. Melangkah cepat menuju salah satu mobil yang cocok dengan kunci digenggaman tangannya.

Elvano langsung saja memasuki mobil tersebut, tetiba pintu kursi samping pengemudi terbuka dan masuklah Alvano yang kini sudah duduk tenang.

Elvano hanya bisa menghela nafas mencoba untuk sabar dan mulai melajukan mobilnya. Hanya hening yang mengisi perjalanan dua saudara kembar tersebut. Keduanya sama-sama sibuk menelisik setiap jalanan yang terlalui.

"Emang kita mau cari kemana?" Sungguh ini di luar dugaan kala Alvano lebih dahulu membuka suaranya memecah keheningan yang biasanya ia senangi.

"Gak tau, gue gak peduli. Mau sampai ke luar negeri aja gue bakal cari." Ucap Elvano tegas.

"Gak mungkin dia sampai luar negeri. Ingat, dia gak bawa barang apa-apa pas kabur. Hp sama dompet dia aja masih di gue." Sahut Alvano sambil melihat ke luar jendela.

"Bener juga. Berarti harusnya dia masih di kota ini." Ucap Elvano pelan dengan penuh harapan.

Sedangkan seseorang yang di cari-cari keberadaannya tersebut kini berada di kafe miliknya. Ia sedang menunggu manajer kafe ini yang secara otomatis menjadi tangan kanannya.

"Maaf anda harus menunggu lama." Ucap seorang gadis berumur 19 tahunan dengan name tag 'Divia'.

"Hmm, gak papa. Mana?" Ucap Esya dengan nada ramah namun masih dapat mengintimidasi orang di sekitarnya karena aura tegasnya.

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang