BAB 18

12.4K 844 4
                                    

"Dah berhenti dong ketawanya, gue laper nih." Ucap Esya dengan nada merajuknya.

Bagaimana tidak? Sedari tadi Lenci masih saja tertawa dengan kerasnya. Sebenarnya, Esya cukup malu saat menjadi pusat perhatian para siswa terutama para kakaka kelasnya.

Mendengar nada merajuk dari Esya membuat Lenci berusaha untuk menghentikan tawanya yang entah disebabkan oleh apa Esya tak tau.

"Oh iya, kaki lo kan ketumpahan kuah mie ayam. Ayo duduk!"

Lenci baru teringat bahwa kaki sebelah kiri Esya ketumpahan kuah mie ayam yang masih panas tadi. Setelah mendudukkan Esya di kursi, Lenci kemudian berjongkok tepat di depan kaki Esya.

Lenci menyikap sedikit rok SMP milik Esya agar dapat mengecek kaki gadis bernama Esya ini. Di lihatnya dengan teliti kaki kiri Esya tersebut, tampak sedikit melepuh. Lenci lalu melihat Esya yang berusaha untuk mengetatkan cardigannya agar seragam atasannya yang basah tak nampak.

Lenci menarik pelan Esya untuk berdiri, ia kemudian memapah tubuh Esya. Esya tentu bingung kenapa Lenci malah memapah tubuhnya, padahalkan tadi dirinya bilang lapar bukannya harusnya mereka pesan makanan lagi?

"Kita ke UKS. Kaki lo harus diobati, cardigan lo juga basah. Biar lo bisa leluasa lepas cardigannya ya harus ke UKS." Ucap Lenci sambil berjalan dengan memapah Esya.

"Thanks." Singkat Esya dengan senyum sendunya ketika tau niatan Lenci.

Keduanya berjalan melewati tiga lelaki tampan yang masih berdiri di ambang pintu kantin sedang menatap mereka dengan pandangan yang tak bisa Lenci juga Esya artikan.

Sedangkan ketiga lelaki tersebut entah kenapa bisa tertarik perhatiannya pada dua gadis murid baru berstatus adik kelasnya tersebut.

"Lah? Al dimana? Kok gak ada ini?" Tanya Stevan pada dua sahabatnya ketika sudah sadar hanya ada dua sahabatnya saja.

"Abang lo kemana El?" Tanya Geo dengan nada datarnya seperti tidak bertanya sama sekali.

"Gue aja baru nyadar, aneh." Jawab Elvano dengan gumaman di kata terakhirnya.

"Yaudah, mungkin ada urusan mendadak. Kalian duduk di tempat biasanya, biar gue yang pesen. Kalian mau pesen apa?" Ucap Stevan.

"Kayak biasanya aja." Ucap Geo kemudian langsung saja berlalu pergi yang diikuti oleh Elvano.

"Gini amat punya sahabat kayak kulkas, untung nafas tuh." Gumam Stevan pelan.

Berpindah ke UKS, kini. Lenci sedang mengamati salah satu anggota PMR di SMA ini yang mengobati kaki kiri Esya dengan lembut juga perlahan.

Posisi Esya yakni duduk di pinggir ranjang UKS agar lebih memudahkan sang kakak kelas mengobati lukanya.

"Nah, sudah selesai. Jangan buat gerak banyak ya, Dek. Tiap 2 jam kasih salepnya. Kakak tinggal dulu." Ucap kakak kelas yang mengobati Esya tersebut.

"Terimakasih, Kak!" Seru Lenci dan Esya bersamaan.

Setelah memastikan sang kakak kelas keluar, Esya memilih membaringkan tubuhnya di atas ranjang UKS dengan hati-hati.

"Cardigannya basah loh, gak mau dilepas?" Tanya Lenci dengan kernyitan tipis di dahinya.

Kalau dilepas, Lenci bisa liat bekas luka sayatan di kedua tangan gue. Gimana ini?, Batin Esya gelisah.

"Gak usah malu, Sya. Kita kan sesama perempuan." Lanjut Lenci yang melihat raut keraguan di wajah Esya.

"I-iya." Akhirnya Esya pun menyanggupinya.

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang