"Gak usah bercanda!" Elvano melangkah dengan wajah memerahnya -tentunya karena amarah yang menguar begitu saja ke arah Lenci.
"Lihat samping lo! Dia gak mati jadi buat apa lo nyelametin dia, hah?!" Ucap Elvano yang sudah berhadapan dengan gadis tersebut.
"Saat ini dia memang belum mati, dan saya tidak akan membiarkan dia mati lagi. Karena anda tidak tau bahwa dikehidupan sebelumnya ia sudah mati, dan alasan utamanya adalah kata 'keluarga' yang anda ucapkan tadi." Sahut Lenci mencoba untuk tetap tenang.
"Kita gak pernah mencoba untuk membunuhnya, walau gue pengen banget." Kali ini Alvano yang berucap mewakili keluarganya.
"Kemudian kenapa anda tidak membiarkan Nafesya kehilangan banyak darah dan mati saja tadi." Ucap Lenci menatap tepat kedua mata sekelam jelaga milik Alvano.
"Anda semua memang tidak membunuh fisiknya. Namun, anda semua membunuh mentalnya secara perlahan." Lenci memilih memandang sendu gadis yang berbaring di ranjang pesakitan.
"Saya sudah memutar waktu agar dapat menyelamatkannya dari kematian yang ia datangkan sendiri. Di buku diary ia sudah berteman dengan mereka sejak umurnya 12 tahun." Entah kenapa ucapan Lenci membingungkan ke-empat lelaki dalam ruangan tersebut.
"Ia berteman dengan mereka yang seharusnya tak mempunyai teman, 'depresi' dan 'selfharm'." Lenci mengelus lembut surai kecoklatan milik Esya.
"Dan tepat di umurnya yang ke-16 tahun, ia memilih menambah teman yang membawanya pergi, 'suicide' namanya kalau kalian ingin tau." Nyatanya ucapan Lenci membuat tubuh ke-empat lelaki tersebut terpaku membeku.
"Ia meninggalkan catatan di buku diarynya. Kalian membacanya sampai catatan terakhir yang tertulis di buku tersebut, dan saat itulah kalian jatuh dalam jurang penyesalan." Kini tatapan Lenci yang tajam menatap para lelaki keluarga Andreaxa di hadapannya.
"Kalau kalian ingin tau, saya lah yang menabrak Esya dua minggu yang lalu. Itu hal pertama yang mengubah takdir ini berjalan." Lenci dengan santainya mengakui kejahatannya dalam menabrak seorang gadis yang ia ketahui sahabatnya sendiri.
"Setelah tau dirinya mengalami hilang ingatan dan berubah sikapnya, saya dapat bernafas lega. Saya kira setelah ini kehidupannya akan lebih baik." Ucap Lenci memandang teduh wajah cantik sahabatnya.
"Nyatanya saya salah, saya tak tau konsekuensi yang akan diterima olehnya." Kembali Lenci menatap satu persatu wajah yang masih memandangnya tak percaya di hadapannya kini.
"Ditambah kalian yang memang pengganggu dalam hidup Nafesya." Ucapan bernada dingin tersebut membuat Esya akhirnya membuka lebar mata bermanik hazel tersebut tanpa disadari lima orang lainnya.
Esya dengan perlahan mengambil pisau buah di atas nakas yang selalu tersedia di dalam ruang biasanya menjadi kamar pribadi Nafesya saat jatuh sakit ini.
"Keluar." Satu kata bernada dingin tersebut mengalihkan perhatian semuanya pada gadis yang mulai memposisikam dirinya untuk duduk.
"Esya." Panggilan dari Lenci diabaikan begitu saja oleh sang pemilik nama.
"Saya bilang keluar!" Nadanya mulai meninggi kala tak ada yang menuruti perkataannya.
"Kalian memang harus diancam dulu, ya?" Ucap Esya dengan ekspresi datar memperlihatkan pisau buah yang tangan kirinya pegang.
Esya dengan nekat mendekatkan sisi pisau buah yang tajam ke arah lehernya secara tiba-tiba. Senyum miring hadir di wajah gadis yang masih pucat tersebut.
"Keluar!" Ucapan Esya kini bernada perintah dengan pisau buah yang sudah melukai sedikit area lehernya.
Tanpa Esya sadari bahwa darahnya sudah naik ke kantong infus, melalui jarum infus -yang menancap di punggung tangan kirinya karena pergerakan tangan kirinya yang mengangkat pisau tepat di lehernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Esya {end}
RandomRenesya, gadis dengan senyum ramah walau takdir mempermainkannya dengan berbagai luka dihati. Bertransmigrasi ke tubuh tokoh favoritenya dengan takdir yang tak jauh beda, apakah ia sanggup menjalaninya? Kejanggalan mulai terjadi, alur novel pun beru...