Bab 2 Bagian A:
Si Pemilik Sapu Tangan“Tidak semua berjalan semestinya. Beberapa hal dibuat terjal dan curam untuk melatih mental.”
••••
Naomi pulang ke rumah malam ini dengan setengah hati--padahal ia masih ingin berlama-lama di Bumi Perkemahan Mandalawangi, Cipanas sampai besok. Bukan karena kemauan wanita itu, melainkan permintaan mereka, bunda dan ayahnya, yang memakai alasan merindukan anak perempuan bungsu satu-satunya di tengah-tengah tiga kakak laki-laki yang telah berkeluarga. Mendengar itu, Naomi hanya bisa memutar bola mata, tidak habis pikir.
Bukan Naomi tidak merindukan mereka. Kutuk ia menjadi batu seperti maling Kundang jika hal itu benar, hanya saja, ada satu hal yang sedang ia hindari sejak seminggu yang lalu.
“Gimana sama Ben? Udah ada tanda-tanda mau melamar belum?”
This! Pertanyaan ini, yang sangat dihindari Naomi. Menutup bibir rapat-rapat, Naomi hanya diam saja, sambil melanjutkan mengunyah ayam bakar bumbu kuning buatan mas di warung.
“Naomi, ih. Ditanya bunda, lho.” Natalia mulai merajuk.
“Si Ben udah kerja, mau melamar kerja dimana Bunda?” Naomi tidak salah bukan? Mood makannya pun perlahan lenyap. Ck. Dasar pria brengsek, perusak suasana hatinya saja.
Terdengar dengusan kesal Natalia.CkCk! Kamu ini, bunda juga tahu dia kerja.”
“Itu, masih nanya aja, Bund?” Naomi bangkit dari tempat duduknya. Hendak melarikan diri.
Natalia yang hafal betul dengan anaknya, ikut melangkah mendekati sang anak dan kembali bersuara. “Kapan dia ke rumah, ngajak anak perawan tua bunda kawin?"
Kawin? Bundanya memang spesies langkah di dunia. Naomi mengentikan langkah. Kini ia berhadapan dengan Natalia. Baiklah, mungkin ini saatnya untuk Naomi jujur, meskipun berat dan lebih banyak takutnya ditelan hidup-hidup oleh Natalia.
“Kita udah putus, Bunda.”
Senduk di genggaman Natalia jatuh di lantai. Ia sangat terkejut dengan kabar ini. bukannya hubungan mereka adem ayem saja? “Lha? Kok bisa?”
“Dia ngatain pekerjaan aku aneh, bunda. Dia bilang aku aneh.” Naomi malu sekali. Ingin rasanya ia menangis lagi, tapi ditahan karena gengsi.
“Kasus yang sama, ya?” Natalia menggaruk tengkuknya. Ia sebagai orang tua, tidak tahu kenapa rata-rata pria memutuskan anaknya dengan alasan ini. Padahal, bagi Natalia, anaknya ini sangat luarbiasa, cerdas, bahkan di umurnya yang masih belia sudah memiliki penghasilan sendiri, sangat mandiri, dan pastinya sangat cocok dengan pria-pria ibu kota, kan? Apa karena masa lalunya? Senyum Natalia meredup bersama sorot matanya yang sedih.
“Hih, bunda!” Naomi menghentakkan kakinya kesal dengan fakta itu.
“Ya sudah, laki-laki kayak itu enggak usah dipikirin lagi. Mending kamu cari yang baru aja, ya? Dokter juga kalau bisa. Bunda tunggu sampai tahun depan, ya, tanggal 1 Januari, kalau enggak kamu bunda jodohnya sama anak teman bunda.”
Naomi hanya menghela napas, tatapan tidak suka ia layangkan. Lelah rasanya jika dituntut terus seperti ini.
“Enggak ada bantahan! Sesuai perjanjian, kan? Kamu sendiri, lho yang bilang, janji. Bunda tuh, mau kamu ada pasangan, umur kamu udah Mateng banget lho, ayah juga mau dapat cucu dari kamu."
Apa boleh buat. Naomi telah berjanji, dan ayahnya, Isak, telah meminta sejak lama agar ia mengakhiri masa lajangnya. Tidak mungkin Naomi membuat pria berusia akhir 70-an itu menunggu lebih lama lagi. Ia tidak mau menjadi anak durhaka.
“Tapi, Bunda. Naomi mau ke Paris.”
“Mimpi apa kamu, Na? Ngapain!? Dapat uang dari mana? Ingat, lho kamu harus ngirit, jangan lupa bayar BPJS, dan asuransi lainnya. Bapak juga masih sakit.” Natalia menggeleng pelan, ada-ada saja Naomi.
Tanpa diberitahu pun, Naomi tahu kewajiban dan apa yang harus ia lakukan. Helaan berat keluar dari bibirnya yang sedikit pucat.
“Iya nyari jodoh baru bunda,” jawab Naomi asal, setengah berharap dengan keadaannya yang seperti ini saja.
“Naomi ...,”
“Mau ke acara nikahan Belinda. Bunda lupa ya, dia bakal nikah di sana? Dia yang bayarin tiket ke sana, kok, bunda, sama tempat tinggal. Aman.” Naomi kembali melanjutkan langkahnya ke dapur.
“Sahabat kamu pada nikah, lho. Kamu kapan, nak?”
Satu hal selesai, muncul lagi satu permasalahan yang dibahas hampir setiap saat.
“Astaga, bundaku. Makanya aku ke sana, ya? Biar dapat jodoh di sana. Siapa tahu ada duda kaya raya, dokter, yang siap jatuh cinta sama aku yang aneh ini, diputusin sebanyak lima kali dengan alasan yang sama. Terus kita nikah, terus bunda langsung dapat cucu, kan? Langsung bunda. Okay bunda?”
Natalia memutar bola matanya. Mereka memang seperti pinang dibelah dua, mirip wataknya. Tidak aneh jika dulu, mendiang Oma Naomi sakit kepala karena tingkahnya, ternyata seperti ini mendidik anak keras kepala.
“Gimana enggak aneh. Mana ada perempuan setua kamu jalannya bawa rubik kemana-mana, kamping, ke mall malah cari peralatan kemping, bahan obrolannya enggak jauh-jauh dari novel, lukisan, museum, patung, game, benda aneh, dan alat-alat yang bunda enggak paham. Belum lagi tumpukan komik, dan miniatur, novel, kaset-kaset lama yang udah tua. Untung kamu bisa make up, Na, enggak kebayang kamu enggak bisa make up.”
“Hih, Bunda, ity namanya hobi, bundaku.” gerutu Naomi. Wajahnya muram. Apa salahnya ia melakukan hal itu? Kan tidak merugikan orang lain.
“Kapan kamu berangkat?”
“Besok, Bunda, Jam satua-an.” jawab Naomi.
“Jangan lupa ya, cek gula darah kamu, terus dikirim terus ke bunda. Jangan keras kepala, ayah kamu bisa tekanan darah kalau kamu melanggar kayak kemarin di kemping. Sama insulin kamu jangan lupa stok lebih, mama enggak mau kamu pingsan!”
Natalia mengelus dadanya. Naomi, anak itu benar-benar keras kepala. Selain sikapnya yang sedikit kanak-kanak, sebenarnya Naomi itu memiliki sisi dewasa yang hanya ia tampilkan di depan orang lain. Inilah Naomi, seperti anak kecil di hadapannya, cerewet, menyebalkan, keras kepala. Namun, di hadapan orang, sangat berbeda. Entah berapa kepribadian yang dimiliki anak itu.
Di sisi lain, Naomi menatap tangannya yang terdapat banyak bekas tusukan jarum. Menjadi penderita Diabetes memang sebuah kutukan.
To be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...